PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Dalam
praktek kehidupan bernegara, sentralisasi dan desentralisasi adalah sebuah hal
yang berkelanjutan. Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan
azas sentralisasi saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Begitu juga
sebaliknya tidak mungkin penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada
azas desentralisasi saja. Beberapa kewenangan memang harusnya hanya dilakukan
secara sentralisasi seperti kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan, kewenangan
peradilan serta kewenangan agama. Meskipun dalam prakteknya juga terdapat azas
dekonsentrasi yang merupakan penghalusan dari azas sentralisasi.
Dibawah
naungan Negara Republik Indonesia (NKRI) kebijakan desentralisasi diterapkan
dengan tujuan utama untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan mensejahterakan
rakyat. Terlihat bahwa otonomi daerah yang hendak dibangun dinegeri ini
dimaksudkan untuk memberdayakan pemerintahan daerah dan masyarakatnya sehingga
daerah biasa lebih maju secara ekonomi dan politik. Seiring dengan hal itu pemerintahan
daerah yang demokratis diharapkan bisa terwujud. Untuk merealisasikan tujuan
otonomi daerah tersebut diperlukan instrumen hukum yang berperan penting
mendukung keberhasilannya. Sesuai dengan adanya semangat reformasi, penyelenggaraan
pemerintahan Indonesia mengalami
perubahan dari sentralisasi kepada desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dari
pembagian kewenangan kepada daerah dan meletakkan lokus kekuasaan pada
kabupaten/kota. Sesuai dengan tujuannnya, maka penguatan otonomi daerah di
tingkat kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan demokrasi partisipatif
dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kewenangan yang
dimiliki, kabupaten/kota dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan daerah
sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbagai Peraturan Daerah yang semula
harus disetujui oleh pemerintah pusat terlebih dahulu, dapat ditetapkan oleh
Kepala Daerah secara mandiri.
Hal
yang sama juga terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat
menetapkan dan memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Dengan
otonomi daerah diharapkan prosedur investasi akan semakin mudah sehingga
potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Indonesia
sebagai salah satu negara yang menggunakan suatu sistem desentralisasi
mewujudkan sistem desentralisasi dengan pemberian wewenang oleh Pusat kepada
daerah, baik dalam pengambilan keputusan ataupun pembuatan kebijakan. Indonesia
sebagai negara demokratis menggunakan sistem pemerintahan yang bersifat
konstitusional yaitu jalannya pemerintahan diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus serta mengatur
rumah tangganya sendiri yang berdasarkan desentralisasi. Kewenangannya untuk
membuat Peraturan Daerah haruslah sesuai dengan kebutuhan, situasi maupun
kondisi daerah masing-masing. Saat ini telah banyak Peraturan Daerah (Perda)
yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah baik Legeslatif dan Eksekutif di
daerah masing-masing. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi DPRD sebagai badan Legeslatif daerah
berkedudukan sejajar menjadi mitra dari pemerintah daerah. Pada dasarnya Perda adalah instrumen hukum
pemerintah daerah (Pemda) dalam
melaksanakan
kebijakan pemerintah (pusat) dan kebijakan Pemda itu sendiri. Dalam proses
penyusunannya, Peraturan Daerah merupakan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif
(DPRD). Artinya ada persetujuan bersama atas ditetapkannya sebuah Perda yang
telah dibentuk sebelumnya dalam bentuk Ranperda. Implementasi Perda ditindaklanjuti dengan
Peraturan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota) dan/atau Surat Keputusan
Kepala Daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan Perda.
Pada tahun 2004 DPR dan Pemerintah
Pusat telah menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yaitu Undang-Undang No 10 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang ini menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara. UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-Undangan. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7
Undang-Undang No 10 Tahun 2004 adalah:
1. UUD
1945
2. Undang-Undang
/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan
Pemerintah
4. Peraturan
Presiden
5. Peraturan
Daerah
a. Perda
Provinsi
b. Perda
Kabupaten / Kota
c. Perdes
/ Peraturan yang setingkat
Diharapkan
dalam pelaksanaannya, Peraturan Daerah (Perda) yang dihasilkan untuk ditaati
dan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk aparat pemerintahan
daerah termasuk juga para pejabat daerah. Pemerintah Daerah sebagai lembaga
Eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga Legeslatif yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah dengan sendirinya
mempunyai fungsi yang penting dalam membuat Perda. Peraturan Daerah merupakan
produk perundang-undangan yang bertujuan untuk mengatur hidup bersama,
melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat dan menjaga keselamatan
serta tata tertib masyarakat di daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu segala
keputusan yang penting yang menyangkut pengaturan dan pengurusan rumah tangga
daerah harus mengikutsertakan rakyat di daerah yang bersangkutan melalui
wakil-wakilnya di Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 136,
prinsip-prinsip pembentukan Perda ditentukan sebagai berikut:
1. Perda
ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
2. Perda
dibentuk dalam rangka penyelengaraan otonomi, tugas pembantuan dan merupakan
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
3. Perda
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
4. Perda
dibentuk berdasarkan atas azas pembentukan peraturan perundang-undangan.
5. Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan Raperda.
6. Perda
dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum, atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
7. Peraturan
Kepala Daerah atau Surat Keputusan Kepala Daerah ditetapkan untuk melaksanakan
Perda.
8. Perda
berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.
9. Perda
dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai pejabat penyidik Pelanggaran Perda.
Peraturan
Daerah yang telah dibuat oleh Pemerintah Daerah baik oleh Gubernur bersama
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi ataupun dibuat oleh Bupati bersama
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sering mengalami permasalahan-permasalahan.
Permasalahan tersebut bisa dalam proses pembuatannya maupun dalam
implementasinya, selain itu permasalahan yang muncul dalam Peraturan Daerah
adalah adanya Peraturan Daerah yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah itu sendiri. Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat kebanyakan Perda yang dibuat pada
tahun 2000-2005,Perda-perda tersebut merupakan jenis Perda yang mengatur
tentang Retribusi, Perizinan, Pajak dan lain-lain. Peraturan Daerah yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri
bukanlah seluruhnya dari kesalahan Pemerintah Daerah yang telah menyusun
Peraturan Daerah tersebut tetapi dikarenakan adanya aturan Pemerintah Pusat
yang tidak tetap yang selalu berubah. Hal inilah yang menyebabkan Peraturan Daerah
banyak yang bertentangan dengan peraturan yang diatasnya.
Peraturan
Daerah yang saat ini bermasalah salah satunya mengenai Peraturan Daerah yang
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sendiri disebabkan Perda
yang telah dibuat menghambat sektor investasi di daerah tersebut. Pemenrintah
Pusat melakukan pembatalan Perda dikarenakan Perda yang telah ditetapkan oleh
daerah sesuai dengan kebutuhannya yaitu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD)nya yang akhirnya tidak jarang bersebrangan dengan ketentuan yang lebih
tinggi. Adanya persoalan mengenai Peraturan
Daerah bermasalah antara lain dikarenakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bertentangan dengan kepentingan umum. Banyak daerah yang berlomba-lomba
membuat Perda sebanyak-banyaknya yang mengatur tentang Perizinan Usaha yang ada
di daerahnya masing-masing. Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah karena
bertentangan kepentingan umum, salah satunya merupakan Peraturan Daerah yang
dianggap menghambat investasi di daerah tersebut.
Dalam
menyusun sebuah Peraturan Daerah bukanlah pekerjaan yang mudah dan gampang,
sebab pekerjaan ini memerlukan pikiran yang baik serta adanya ketelitian dari
para penyusun Perda yang memerlukan waktu yang cukup lama dengan melalui
tahapan-tahapan. Pembuatan Peraturan Daerah ini baik dalam merencanakan serta
menyusunnya menjadi sebuah Perda tidak saja harus mempunyai pengetahuan
dibidang hukum dan peraturan Perundang-undangan melainkan juga harus mengetahui
sampai dimana batas-batas kewenangan dan kekuasaan daerah yang telah
ditentukan.
Kota Pekanbaru merupakan salah satu kota di Provinsi
Riau yang sebagai ibukota yang dinilai paling kondusif dan prospektif dalam
penanaman modal di Provinsi yang diikuti oleh Kabupaten Kampar.
Penerapan otonomi daerah pada tahun 2001 telah membawa perubahan yang cukup
berarti bagi kondisi ekonomi di Kota Pekanbaru. Penelitian
yang dilakukan Brodjonegoro (2001) menunjukkan bahwa desentralisasi
fiskal secara tidak langsung mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi
daerah melalui peningkatan dalam belanja rutin dan belanja modal Pemda.
Sehingga ketersediaan fasilitas atau pelayanan publik yang dibutuhkan dalam
rangka mendukung kegiatan investasi pun semakin meningkat dan pada akhirnya
mendorong pertumbuhan ekonomi Pekanbaru. Pertumbuhan ekonomi di Kota Pekanbaru
diyakini banyak ditopang oleh adanya aliran investasi masuk ke Kota Pekanbaru.
Oleh karena itu peningkatan investasi perlu senantiasa diciptakan iklim usaha
yang kondusif dalam hal ini merupakan elemen penting dalam menciptakan
pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah aturan yang mengatur mengenai
perizinan pelayanan usaha penanaman modal.
Perda
yang mengatur mengenai dunia usaha di Pekanbaru yang mendorong tingkat
investasi yang dapat menambah Pendapatan Asli daerah yang dibuat oleh Kepala
Daerah Kota Pekanbaru dengan persetujuan DPRD Kota Pekanbaru saat ini jumlahnya
sangat banyak yaitu mengenai Peraturan Daerah yang mengatur tentang pajak dan
retribusi. Akhir-akhir ini banyak pula perda
yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri terutama
yang menghambat tingkat investasi di Provinsi khususnya Kota Pekanbaru.
Persoalannya, penerbitan perda-perda tersebut terkadang tidak mengindahkan
peraturan ataupun etika bisnis, sehingga menimbulkan masalah baru bagi dunia
usaha. Seharusnya penyusunan Perda dan pengawasan Perda harus sesuai dengan
fungsi serta tujuannya, salah satunya membuat suatu Peraturan Daerah yang
berpihak kepada masyarakat dan dunia usaha dengan memperhatikan ketentuan yang
berlaku.
Kebijakan kreatif yang
dikeluarkan oleh sejumlah penguasa di daerah cukup menyesakkan kalangan dunia
usaha. Peraturan Daerah tersebut memang banyak ditujukan bagi dunia usaha,
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah tersebut tidak memberikan
kemudahan, justru sebaliknya menjadi beban bagi pelaku usaha. Dalam Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah diatur
berbagai pungutan atau pajak yang dapat ditarik oleh daerah. Tetapi pada
kenyataannya Undang-Undang ini tidak mampu mengendalikan daerah untuk membuat
berbagai kebijakan yang sejalan dengan peraturan tersebut. Ada saja celah-celah
dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ini yang dimanfaatkan daerah. Akhirnya,
perda sering tidak harmonis atau tumpang tindih dengan peraturan di atasnya.
Menurut
Bapak H.Syahrial, SE. M.Si sebagai Sekretaris Badan Penanaman Modal dan
Investasi Kota Pekanbaru ada beberapa Perda yang menghambat investasi di Kota
Pekanbaru. Beberapa Perda yang disebutkan dapat menghambat investasi di Kota
Pekanbaru ialah Perda Izin Usaha, Perda Izin Membangun Bangunan, dan Perda
Tenaga Kerja. Salah satu perda yang disebutkan dapat menghambat Investasi untuk
menanamkan modalnya di Pekanbaru yaitu
Perda No 14 Tahun 2000 tentang Tentang
Izin Bangunan Dalam Daerah Kota Pekanbaru khususnya pada Pasal 57 ayat (2) dan
Perda No1 Tahun 2010 yang mengatur hal yang sama sebagai pengganti Perda No 14
Tahun 2000 yang mengatur tentang Retribusi Izin
Bangunan Dalam Daerah Pekanbaru yang
mana Perda No 14 Tahun 2000 ini telah berjalan selama sepuluh tahun.
Perda No 14 Tahun 2000 tersebut
telah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 257 tahun 2009 pada tanggal 11 Desember
2009 mengenai Pembatalan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 14 Tahun 2000
tentang Izin Bangunan Dalam Daerah Kota Pekanbaru yang ditandatangani oleh
Mendagri Gamawan Fauzi. Alasan pembatalan Perda tersebut ialah:
1. Terhadap
bangunan kantor pemerintah maupun pemerintah daerah, dikecualikan dari objek
retribusi IMB sesuai dengan Penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-Undang
No 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Izin
Penggunaan Bangunan (IPB) sudah termasuk dalam IMB dan tidak memerlukan izin
tersendiri sehingga tidak dapat dikenakan retribusi.
3. Surat
Izin Bekerja Perencana (SIBP) , izin hunian bangunan dan izin sewa bangunan
tidak diperlukan lagi sehingga tidak dapat dikenakan retribusi.
4. Izin
mendirikan bangunan diberikan agar kegiatan pembangunan sesuai dengan
persyaratan administrasi dan teknis bangunan dan IMB bukan merupakan bukti
kepemilikan bangunan sehingga tidak memerlukan balik nama atau pemecahan IMB.
5. Pembatalan/pencabutan
izin tidak dapat dikenakan retribusi karena hanya dilakukan dengan permohonan
dan pelanggaran oleh pemegang izin.
Selain itu evaluasi
juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah sendiri (Gubernur). Perda dibatalkan
dengan alasan Perda mengenai Izin Bangunan Dalam Daerah Pekanbaru ini dianggap
menghambat masuknya investasi di Kota Pekanbaru. Perda No 14 Tahun 2000
mengenai Izin Membangun Bagunan ini dibatalkan karena adanya salah satu ayatnya
yaitu pada pasal 57 ayat 2 yang menyatakan bahwa pembangunan gedung lebih dari
delapan lantai harus melalui persetujuan DPRD Kota Pekanbaru. Gubernur menilai
pemberian izin yang dilakukan oleh DPRD tidak sesuai dengan fungsi dari DPRD
itu sendiri sebab fungsi dari DPRD Kota Pekanbaru hanya legislasi, anggaran dan
pengawasan.
Fenomena ini terlihat dalam
penanaman modal di Kota Pekanbaru yang dibangun beberapa gudung-gedung tinggi
sebagai tempat para investor untuk menanamkan modalnya di Kota Pekanbaru.
Adapun gedung-gedung tinggi yang telah dibangun di Kota Pekanbaru ialah:
1. The
Premiere Grand Zury.
Pembangunan Gedung ini dimulai pada tahun 2010 dan selesai dan diresmikan
pada akhir tahun 2010. Gedung ini
merupakan Hotel yang berada di Jalan Sudirman yang berjumlah sebelas tingkat.
2. Gedung
Surya Dumai.
Pembangunan Gedung Surya Dumai telah lama dibangun yaitu pada akhir tahun
2007. Gedung ini merupakan tempat kerja gabungan perusahaan-perudahaan yang
berjumlah sebelas tingkat.
3. Menara
Dang Merdu Bank Riau
Menara Dang Merdu Bank Riau akan menjadi salah satu bangunan yang berada di
Pekanbaru karena pembangunan Menara ini baru dimulai pada akhir tahun 2010.
Rencananya pembangunan Menara ini akan selesai dalam anggran tiga tahun sampai
pada tahun 2012 dengan jumlah lima belas (15) tingkat.
4. Kantor
Gubernur Riau ( 9 Tingkat)
Gedung ini merupakan kantor gabungan dari dinas-dinas yang ada di Provinsi
Riau yang berada di Kota Pekanbaru. Pembangunan gedung ini dimulai pada tahun
2007 dan selesai pada tahun 2009.
5. Hotel
Ibis
Hotel Ibis merupakan salah satu hotel yang berbintang tiga yang ada di Kota
Pekanbaru yang memiliki lebih dari delapan tingkat. Pembangunan Hotel ini
dimulai pada tahun 2004.
6. Hotel
Jatra
Hotel Jatra atau disebut Grand Jatra merupakan hotel berbintang empat.
Hotel ini juga merupakan gedung yang ada di Pekanbaru yang memiliki lebih dari
delapan tingkat yang telah dibangun pada tahun 2004.
7. The
Peak Apartement
The Peak Apartement merupakan bangunan gedung yang
pembangunannya telah direncankan pada tahun 2008 yang akhirnya direalisasikan
kembali pada tahun 2010.
Dari beberapa Gedung yang memiliki
lebih dari delapan tingkat di atas memliki keterkaitan dengan dibatalkannya
Perda Nomor 14 Tahun 2000 tentang Izin Bangunan Dalam Daerah Kota Pekanbaru dan
dibentuknya Perda Nomor 1 Tahun 2010. Bangunan gedung-gedung diatas yang
pembangunannya dilakukan sebelum tahun 2010 merupakan bangunan yang mendapat
persetujuan dari DPRD Kota Pekanbaru sebelumnya. Sedangkan pembangunan yang
dilakukan setelah tahun 2010 khususnya bangunan yang dibangun setelah
dikeluarkannya Perda No 1 Tahun 2010 mendapat persetujuan dari instansi terkait.
Seperti pada pembangunan The Peak yang sebelum dikeluarkannya Perda No 1 Tahun
2010 pembangunan gedung ini tidak teralisasi karena tidak mendapat persetujuan
dari DPRD Kota Pekanbaru. Setelah dibatalkannya Perda tersebut dan diberlakukannya
Perda No 1 Tahun 2010 maka pembangunan
dilanjutkan kembali setelah tertunda selama dua tahun. Banyaknya pembangunan
gedung-gedung bertingkat seperti hotel membawa dampak investasi yang besar bagi
Kota Pekanbaru sebagai pemasukan bagi pendapatan daerah.
Pemberian izin
pembangunan gedung lebih dari delapan tingkat tersebut bukanlah menjadi ranah
dari DPRD Kota Pekanbaru. Jika dilihat Perda ini merupakan perda yang mengatur
tentang pungutan-pungutan perizinan, seperti yang diketahui bahwa Kota
Pekanbaru ini dibangun dari hasil pungutan retribusi dan perizinan. Oleh karena
itu seharusnya jika ingin membuat suatu peraturan yang mengatur hal ini harus
diperhatikan secara maksimal sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah baru
yang akan berpengaruh terhadap pembangunan di Kota Pekanbaru. Ivestasi di
Indonesia termasuk di Pekanbaru dinilai dapat terhalang karena rumit dan
lamanya mengurus perizinan. Perizinan untuk memulai usaha dan investasi di
Indonesia terbilang paling lama dan berbelit-belit yang sejauh ini rata-rata
waktu perizinan di Indonesia mencapai 151 hari. Dengan adanya Perda No 1 Tahun
2010 sebagai pengganti dari Perda No 14 Tahun 2000 juga mengalami masalah.
Menurut Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRD Kota Pekanbaru M.Navis, Perda No. 1
Tahun 2010 menimbulkan pertanyaan dari kalangan DPRD. Pasalnya peraturan
tersebut tidak sesuai dengan mekanisme
yang diharapkan dan Perda tersebut dipertanyakan keabsahannya karena tidak
pernah disahkan di DPRD Pekanbaru. Tetapi Perda tersebut langsung diterapkan
oleh Pemerintah Kota Pekanbaru. Sehingga DPRD mempertanyakan hal tersebut.
Idealnya, sebuah Perda apabila telah direvisi oleh Gubernur maka seharusnya
dibawa juga ke DPRD. Tetapi DPRD tidak membuat pernyataan penolakan atas Perda
tersebut dalam sebuah Surat Gugatan atau Surat Penolakan hanya sekedar ucapan
saja.
Penanaman modal adalah
segala bentuk kegiatan investasi baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun
penanaman modal asing. Kebijakan dasar penanaman modal adalah untuk menciptakan
iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanam modal untuk penguat daya saing
perekonomian nasional serta mempercepat peningkatan perekonomian. Tujuan
penyelenggaaan invesasi antaralain untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, menciptakan daya saing dunia usaha nasional, mendorong ekonomi
kerakyatan, mengelola ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dan
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Investasi merupakan salah satu instrumen
pembangunan ekonomi yang sangat mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Peraturan Daerah ini
telah melalui proses kajian yang matang, sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan, apalagi pengasahannya juga melalui mekanisme paripurna DPRD
Pekanbaru, tapi tetap saja Pemko harus mendengarkan pihak lain yang merasa
dirugikan. Selain perda ada juga penyebab yang menyebabkan rusaknya iklim
bisnis di Pekanbaru karena adanya pungutan berganda atau double taxation antara
pajak pusat (PPh, PPN, PBB, dan lainnya) atau dengan pajak daerah lainnya. Saat
ini pengutan-pungutan yang tidak resmi masih banyak berkeliaran di
daerah-daerah, dengan nilai yang bervariasi Terkait hal ini bahwa banyak Perda
yang menghambat masuknya investasi. Masuknya investor sangat ditentukan peran pemerintah. Ada
tujuh indikator daya tarik invetasi untuk dilakukan, yaitu keamanan, potensi
ekonomi, budaya daerah, sumber daya manusia, infrastruktur, keuangan daerah dan
peraturan daerah (perda). Faktor keamanan bukan saja persoalan kepastian hukum atau
penegakan hukum dan proses peradilan, tetapi juga terkait ganggung keamanan
lingkungan. Seperti jaminan kelangsungan usaha, keselamatan jiwa, perusakan,
pencurian dan penjarahan. Di sisi potensi ekonomi, ketersediaan sumber daya alam di
Pekanbaru cukup potensial, diantaranya perkebunanan, perikanan, kehutanan dan
pertambangan. Namun dari aspek sikap, perilaku masyarakat dan budaya serta
perilaku birokrasi masih harus mendapat perhatian yang lebih.
Begitu juga dari aspek
infrastruktur, yang masih minim. Terkait sumber daya manusia, yakni
ketersediaan SDM, Kualitas SDM dan Keuangan Daerah juga bagian daya tarik
investasi. Apabila hal ini bisa di penuhi, maka peluang pemilik modal untuk
tetap datang semakin besar pula. Faktor terakhir ialah mengenai
peraturan daerah. Investor akan ragu masuk jika harus dihadapkan berbagai
peraturan‑peraturan daerah serta kebijakan daerah maupun intansi terkait yang
sangat membebankan.
Pertumbuhan ekonomi di
Kota Pekanbaru diyakini banyak ditopang oleh adanya aliran investasi masuk ke
Kota Pekanbaru. Investasi sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk
membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk
menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam
perekonomian. Pelaksanaan
otonomi daerah di beberapa daerah telah diwarnai dengan kecendrungan Pemda
untuk meningkatkan PAD dengan cara membuat perda yang berisi pembebanan pajak‑pajak
daerah. Hal ini mengakibatkan timbulnya ekonomi biaya yang tinggi, sehingga
pengusaha merasa keberatan untuk menanggung berbagai pajak tersebut. Kebijakan
pemda untuk menaikkan PAD bisa berakibat kontraproduktif karena terjadi bukan
PAD yang meningkat, akan tetapi justru mendorong para pengusaha memindahkan
lokasi usahanya ke daerah lain yang lebih menjanjikan.
Dengan adanya Perda yang menghambat masuknya investasi ke suatu daerah maka
akan memungkinkan para investor akan menanamkan modalnya ke daerah yang lain.
Maka diperlukan reformasi birokrasi untuk mempermudah izin investasi di daerah
dan sudah saatnya birokrasi yang mempersulit aktivitas berusaha dihilangkan
agar para investor berdatangan untuk menanmkan modalnya di suatu daerah.
Terlihat bahwa
Daerah telah mengabaikan investasi dengan membuat Peraturan Daerah yang menghambat
investasi masuk ke daerah yaitu Perda No 14 Tahun 2000 tentang Izin Bangunan
Dalam Daerah Kota Pekanbaru. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dan menetapkan judul
penelitian ini adalah “Tinjauan
Politik Terhadap Pembatalan Dan Penggantian Peraturan Daerah di Kota Pekanbaru”.
1.2
Perumusan
Masalah
Penelitian
ini mencoba mengkaji Perda yang dapat menghambat Investasi di Kota Pekanbaru. Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : Bagaimana Sisi
Politik dari Pembatalan Perda No 14 Tahun 2000 dan Penggantian Perda No 1 Tahun
2010?
1.3
Tujuan
dan Manfaat Penulisan
1.3.1
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
perumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui sisi
politik dari pembatalan Perda No 14 Tahun 2000 dan Penggantian Perda No 1 Tahun
2010.
1.3.2
Manfaat Penulisan
1. Sebagai
bahan informan dan koreksi bagi pihak yang berwewenang dalam hal pelaksanaan
dan pembatalan Peraturan Daerah tersebut.
2. Sebagai
bahan informasi bagi masyarakat Kota Pekanbaru mengenai status Peraturan Daerah
tersebut.
3. Untuk
meningkatkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah serta melatih
penulis dalam menerapkan teori-teori yang diperoleh selama perkuliahan.