Powered By Blogger

02 Maret 2012

Kajian Politik Indonesia

Kajian Politik Indonesia

1. Analisis trend Kajian Politik Indonesia yang dilakukan oleh para ilmuwan politik Indonesia, apa saja yang tetap dan apa saja yang bergeser baik fokus dan lokus.
2.    Kritik atas fokus dan lokus kajian dalam kajian politik Indonesia.

Jawaban:
1.    Kajian Politik Indonesia pada dasarnya merupakan sebuah kajian yang membahas dinamika yang terjadi dalam perpolitikan di Indonesia mulai dari masa kolonial, orde lama, orde baru sampai masa reformasi. Jika melihat akar sejarah dalam hal perpolitikan di negara ini, tentu sangat berimbas pada latar belakang dan kemunculan politik lokal di Indonesia. Diawali dari masa kolonialisme, dimana dari metode kontrolnya yang berbasis pada direct control ( pengawasan langsung) bagi wilayah Jawa dan indirect control (pengwasan tidak langsung) bagi wilayah luar Jawa yang melahirkan adanya elit aristokrasi lokal atau elit pribumi sebagai wakil Hindia Belanda di luar Jawa, dan kemunculan volksraad  atau birokrasi daerah. Pada masa penjajahan Jepang, yang menerapkan sistem re-sentralistik dan re-militeristik, dimana terjadi peralihan dari locale raad menjadi kekuasaan eksekutif, sehingga mengakibatkan munculnya bupati dan walikota sebagai penguasa tunggal di daerah.
Situasi politik nasional juga mempengaruhi keberadaan politik lokal, seperti apabila melihat pada masa orde baru yang dalam perkembangannya menaruh militer dan birokrasi sebagai elemen utama, kekuasaan negara yang dominan, masyarakat yang termarginal, dan adanya proses penyeragaman dimana sebagai akibat dari proses penyeragaman yang terjadi tesebut maka politik lokal kehilangan keragaman dalam format pengaturannya. Apabila membahas format politik pada masa pasca orde baru, dimana terjadi perubahan karakter dari hubungan yang bersifat sentralistik-otoritarian ke format yang lebih bersifat desentralistik-demokratis. Akibat dari perubahan tersebut, maka muncullah dua karakter baru, yaitu ada pergeseran lokus politik dari nasional ke lokal (ada distribusi kekuasaan), dan adanya pergeseran format pemerintahan, dari pemerintahan oleh birokrasi ke pemerintahan oleh partai, baik pada level nasional atau daerah. Terlebih jika memusatkan pembahasan kedalam konsep desentralisasi yang telah mengubah secara signifikan kewenangan propinsi dan kabupaten atau kota dalam mengelola pemerintahan.
Kajian mengenai politik Indonesia ini telah dilakuan oleh para ilmuwan-ilmuwan dengan fokus dan lokus yang sama dengan pendekatan yang berbeda. Dalam melihat kajian tersebut lokus adalah Indonesia dan fokus yang dikaji melihat negara dan masyarakat (state).
a.         Masa Hindia Belanda (Kolonial)
Pada masa kolonial politik indonesia telah dikaji oleh para ilmuwan (Indonesianis), dimana mereka mengkaji politik Indonesia dengan fokus yang sama yaitu negara kolonial dan masyarakat. Pada kajian ini para Indonesianis membagi kedua fokus tersebut, dalam mengakaji negara kolonial terbagi atas dua yaitu: Birokrasi Kolonial dan Politik Ekonomi negara kolonial yaitu politik etis, politik liberalisasi ekonomi. Selain itu Masyarakat juga dibagi atas tiga yaitu: Masyarakat Ekonomi Kolonial, Plural Society (masyarakat pluralis), Social Movement (Gerakan Sosial).
Para ilmuwan yang mengkaji politik Indonesia pada masa kolonial adalah: Clive Day yang mengkaji pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah kolonial dalam bidang politik, ekonomi dan pembaharuan administrasi pemerintahan dijawa, B.J.O Schrieke juga mengkaji masalah turun naiknya status pejabat pribumi, selain itu imuwan R.Van Niel juga mengkaji munculnya golongan elit modern dan perananya dalam kebijakan. Heather Sutherland mengkaji peranan sosial dan politik golongan priyayi.
Dalam melihat birokrasi kolonial sebagai bagian dari birokrasi kolonial melahirkan dua model pemerintahan yaitu adanya pribumi dan pemerintah sipil belanda. Pemerintahan pribumi disebut sebagai birokrasi tradisoinal (Priyayi) sedangkan pemerintahan sipil Belanda merupakan pemerintah daerah (pemerintahan dalam negeri) pada saat itu. Pemerintahan sipil Belanda ( Gewestelijk Besturr) merupakan bentuk birokrasi di Indonesia pada masa kolonial. Implikasi dari pembentukan birokrasi kolonial ini adalah segala pengambilan keputusan dilakukan oleh birokrasi pemerintahan sipil Belanda dan birokrasi tersebut mnguasai dan mengendalikan segala sumber daya ekonomi politik. Negara kolonial dalam kajian ini juga terdapat politik ekonomi kolonial yaitu adanya politik etis dan liberalisasi ekonomi, dimana politik etis merupakan pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi masyarakat pribumi yang ada di Indonesia, sedangkan bentuk dari liberalisasi ekonomi diberikannya panggilan moral dalam kebijakan politik etis yaitu adanya Irigasi, Emigrasi dan edukasi bagi masyarakat pribumi.
Sesuai dengan apa yang disampaikan diatas bahwa para indonesiani mengkaji politik indonesia dengan fokus masyarakat (society). Dalam kajian ini para ilmuwan yang mengkaji antara lain J.H.boeke, Clifford Geertz, J.S Furnival, Cornelis van Vollenhoven, mereka menyajikan bahwa masyarakat pada masa kolonial dengan karakteristik dual ekonomi atau segi ekonomi yaitu adanya ciri-ciri masyarakat indonesia dari segi ekonomi, selain itu adanya kebijakan pertanian yang ingin sampai kepada pasar internasional dan masyarakat pribumi dipaksa untuk selalu menghasilkan produksi-produksi pertanian. Geertz sendiri memandang masyarakat pada masa itu terjadi kemiskinan di Jawa, dimana penduduk pribumi didaerah tersebut mengalami ketertindasan serta kemiskinan dari struktur kolonial dalam konteks politik ekonomi.
Masyarakat yang plural pada masa kolonial dilakukan dengan adanya pembagian kerja berdasarkan etnis dan masyarakatnya juga memiliki motif eknomi yang sama dengan adanya identitas dari masing-masing masyarakat. Sartono menyatakan dalam kajian masyarakat pada masa kolonial adalah adanya gerakan sosial ( society movement) yang dilakukan oleh petani dengan dilakukannya pemberontakan karena penindasan, kesengsaraan dan kemiskinan yang diperoleh dari hasil pemerintahan era kolonial. Melihat hal ini Sartono menyatakan bahwa adanya hubungan orientasi ideologi gerakan pemberontakan Banten dan golongan-golongan sosial untuk melawan dominasi asing dan perusahaan-perusahaannya.

b.        Masa Orde Lama
Sama halnya dengan masa kolonial, pada masa orde lama juga memiliki fokus dan yang sama yaitu negara dan society (masyarakat) dan lebih menitikberatkan pada masyarakat. Sementara lokus dari kajian pada masa ini adalah Indonesia Pra Kemerdekaan. Adapun ilmuwan yang telah mengkaji masalah ini adalah Herbert Feith, Harry J Benda, Lan Castle, dan Geertz. Perdebatan yang dimulai oleh Feith yang menyatakan kenapa demokrasi parlementer itu gagal dilaksanakan di Indonesia mendapat kritik oleh Harry J Benda dengan mempertanyakan kenapa bisa muncul konsep demokrasi.
Jawaban atas pertanyaan mengapa indonesia gagal dalam mempertahankan demokrasi parlementer telah di sebutkan oleh Feith yaitu dikarenakan dua gaya kepemimpinan pada masa pasca kemerdekaan di kalangan elite. Periode 1950-1959 telah terjadi ketidakstabilan politik di Indonesia. Ada banyak istilah untuk menggambarkan masa ini yaitu Demokrasi Parlementer, Demokrasi  Konstitusional, dan Zaman Pemerintahan Partai-Partai yang dikemukakan oleh Wilopo untuk menunjukkan bahwa pemerintahan didukung oleh partai-partai. Pertanyaan yang dikemukakan oleh Feith mengapa demokrasi konstitusional bisa gagal dapat dijawab dengan melihat karakteristik yaitu: kaum sipil memainkan peran dominan, partai politik memiliki kedudukan sangat penting, persaingan untuk merebut kekuasaan yang erat dengan konstitusi, kebanyakan elite politik memiliki jenis kesetiaan yang berkaitan dengan demokrasi konstitusional, kebebasan sipil dilanggar, pemerintah menggunakan kekerasan.
Pendekatan pada masa ini menekankan pada dinamika dalam ranah masyarakat. Masyarakat terpilah-pilah (plural) secara nominal (ideologi, etnis agama) maupun graduated (kelas-kelas sosial). Interpretasi ini muncul dalam studi Geertz tentang aliran, Herbert Feith dan Lance Castles maupun studi- studi yang menekankan pada munculnya politik etnisitas dalam perpolitikan Indonesia.
Menurut pendapat Herbert Feith berawal dua sumber utama pemikiran politik di Indonesia kemudian menghasilkan lima aliran politik, aliran politik tersebut ialah:
Ø  Komunisme yang mengambil konsep-konsep langsung maupun tidak langsung dari Barat, walaupun mereka seringkali menggunakan ideom politik dan mendapat dukungan kuat dari kalangan abangan tradisional. Komunisme mengambil bentuk utama sebagai kekuatan politik dalm Partai Komunis Indonesia.
Ø  Sosialisme Demokrat yang juga mengambil inspirasi dari pemikiran barat. Aliran ini muncul dalam Partai Sosialis Indonesia.
Ø  Islam, yang terbagi menjadi dua varian: kelompok Islam Reformis (dalam bahasa Feith)- atau Modernis dalam istilah yang digunakan secara umum- yang berpusat pada Partai Masjumi, serta kelompok Islam konservatif –atau sering disebut tradisionalis- yang berpusat pada Nadhatul Ulama.
Ø  Nasionalisme Radikal, aliran yang muncul sebagai respon terhadap kolonialisme dan berpusat pada Partai nasionalis Indonesia (PNI).
Ø  Tradisionalisme Jawa, penganut tradisi-tradisi Jawa. Pemunculan aliran ini agak kontroversial karena aliran ini tidak muncul sebagai kekuatan politik formal yang kongkret, melainkan sangat mempengaruhi cara pandang aktor-aktor politik dalam Partai Indonesia Raya (PIR), kelompok-kelompok Teosufis (kebatinan) dan sangat berpengaruh dalam birokrasi pemerintahan (pamong Praja).
Dengan gagalnya demokrasi parlementer maka kemudian pemerintah menerapkan demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin ditandai adanya kekuata-kekuatan yang masih dominan yaitu Soekarno mengalami kenaikan bersamaan mundurnya atau dihapuskannya sistem liberal, PKI menanjak ketika partai lain menurun. Jika dicermati selama demokrasi terpimpin dan terjadi pergantian kabinet, PKI tidak pernah masuk parlemen. Selain itu adanya dwi fungsi ABRI dalama masa pemerintahan Soekarno.
Periode Sukarno ditandai dengan kekacauan administratif yang meluas disatu pihak, disatu sisi lain masyarakat masyarakat kelas bawah pada awal masa sukarno menikmati kebebasan demokrasi yang jauh lebih besar. Disatu sisi negara sangat lemah karena banyaknya persoalan dari luar yaitu masyarakat masih disibukkan melawan sisa-sisa penjajah di indonesia, sehingga negara berpusat untuk menghilangkan penjajah dari Indonesia dan urusan ekonomi masih berantakan.

c.    Masa Orde Baru
Fokus kajian pada masa ini adalah Indonesia pada Pemerintahan Soeharto. Dimana lokusnya masih sama dengan masa-masa sebelumnya yaitu masyarakat dan Negara (menitikberatkan pada negara). Ilmuwan yang  telah mengkaji masa ini Harry J Benda, Benedict Anderson (1983), Emmerson (1983), Karl Jakson (1978), Tornquist (1990).
Mendekati akhir 80-an dan awal 90-an politik indonesia digairahkan dengan isu keterbukaan politik. Tetapi isu keterbukaan politik pada rezim orde baru tidak berkembang sebagaimana mestinya seperti ada tarik menarik sesuai dengan lebar sempit ruang politik yang diinginkan rezim yang berkuasa.
Pendekatan yang dilakukan oleh para ilmuwan untuk melihat orde baru yaitu pendekatan negara monolitik. Dalam pendekatan ini, negara dilihat dalam sosoknya yang otonom, tunggal dan homogen (Harry J Benda, Benedict Anderson (1983)). Pendekatan yang lain membaca adanya pluralisme dalam negara, seperti terlihat dalam studi tentang kotestasi dalam lingkaran elite birokrasi. Karl Jakson (1978) dan Harold Crouch  (1978) menyebutkan perpolitikan yang bersandar pada kompetisi antar klik politik sebagai replika dari model Patrimonial State. Emmerson (1983) melalui konsep Pluralisme Birokrasi melihat arti penting perdebatan orientasi kebijakan dalam kotestasi antar elite. Tornquist (1990) melihat hubungan patron klien pada dasarnya memiliki basis material dalam kapitalisme rente.
Herbert Feith dan Castel menjelaskan bahwa zaman Orde Baru terjadi perubahan ekonomi yang jauh jangkauannya, pada masa ini usaha besar-besaran dalam menambang minyak dan mineral, kemajuan yang dramatis dalam perhubungan barat dan udara serta telekomunikasi, inovasi teknologi yang cepat dalam bidang pertanian, terutama padi, perluasan yang cepat dalam industri manufaktur dan kegiatan konstruksi yang mengubah wajah-wajah kota besar secara mencolok. Perubahan ini dengan cepat diiringi membesarnya kemampuan negara mengumpulkan pajak serta bertambah efesiennya pengawasan dan penguasaan penduduk. Sumber-sumber keuangan yang dikuasai pemerintah pusat bertambah secara dramatis, yang membuatnya mampu membayar gaji pegawai negeri dan tentara dengan jauh lebih baik. Selain itu dimasa Orde Baru pemerintah menggalang kerja sama yang erat dengan dunia barat yaitu kapitalis
Pendekatan ini memusatkan perhatian apa yang menjadi kepentingan Negara yaitu dalam pendekatan negara monolitik atau dinamika politik yang terjadi dalam negara dengan pendekatan pluarlisme dalam negara. Ketika memusatkan perhatian pada negara maka kedua pendekatan ini cenderung menganggap apa yang terjadi dalam masyarakat tidak relevan, masyarakat juga dibaca sebagai entitas yang homogen. Ben menyebutkan sebagai Old State New Society. Anderson berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan Rezim Orde Baru hanya dapat dimengerti secara baik dari kepentingan negara sendiri. Pada pendekatan selanjutnya mengenai keragaman terbatas yang dikaji oleh Dwight King, Mohtar Masoed yang berbicara mengenai otoritarian birokratik dan Liddle yang membahas mengenai pluralisme terbatas yaitu adanya otonom dari negara.
Pendekatan terakhir adalah pendekatan yang menekankan pada dinamika yang terjadi dalam ranah masyarakat dimana kondisi masyarakat semakin plural. Pandangan Herbert Feith dan Lances Castles bahwa munculnya politik etnitas dalam perpolitikan Indonesia dimana pada masa itu masyarakat terpilah-pilah secara nominal (ideologis, etnis agama dan kelas-kelas sosial). Adanya pendekatan ini juga memiliki kelemahan yaitu adanya keterbatasan negara yang membuat kapasitas suatu negara menjadi lemah. Anderson berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru hanya dapat dimengerti secara baik dari kepentingan negara sendiri.
Dominasi lembaga kepresidenan pada masa orde baru juga terlihat dalam negara, hal ini terjadi karena Presiden menguasai resources politik dan mampu memanfaatkannya dengan baik. Salah satu political resources dengan melakukan kontrol proses rekruitment di semua lembaga termasuk legislatif, partai dan pemilu. Lembaga  kepresidenan memiliki sumber material yang tidak terbatas.
Tornquist berpendapat mengenai birokrasi rente pada masa orde baru dimana sistem kapitalisme yang terbangun terutama pada masa orde baru memiliki formasi sosial yang tidak harmonis. Sistem ini dibangun di atas kontradiksi baik di wilayah ekonomi maupun ranah politik. Dalam menjelaskan orde baru dengan model otoritarian birokratik Dwight Kings dan Mohtar Masoed dijelaskan bahwa munculnya rezim otoriter tidak bisa dilepaskan pada krisis struktural yang dihadapi oleh negara-negara kapitalisme pinggiran, akibat kegagalan strategi industrialisasi yang diterapkan.

d.   Masa Reformasi (Pasca Orde Baru)
Pluralitas ideologis yang dikaji oleh Uhlin itu tidak hanya dipahami dalam konteks domestik akan tetapi memiliki konteks yang bersifat transnasional. Pertanyaan Uhlin mengenai sejauhmana dan bagaimana berbagai peristiwa, kontak dan ide asing turut membentuk wacana demokrasi di Indoensia” dengan adanya aspek-aspek situasi internasional yang berpengaruh terhadap kondisi demokrasi di Indoensia, terutama struktur politik global yang  mulai berubah sejak berakhirnya “perang dingin”.
Kajian yang dilakukan oleh Uhlin menghasilkan empat varian ideologi pra 1998 yaitu: wacana radikal, wacana liberal, wacana konservatif, dan wacana islam. Di dalam varian ideologi ini terdapat pembagaian aktor-aktor yang pro dengan demokrasi.  Adanya pemilu 1999 merupakan dijalankannya aliran politik Indonesia. Pertarungan politik Indonesia melalui pemilu masih mengikuti garis besar aliran politik, hal ini membuat aliran tidak hanya tergantung pada ikatan primordial, tetapi juga dipengaruhi oleh isu-isu sosial, politik, ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia dimana pemilu-pemilu selanjutnya akan selalu merefleksikan kekuatan-kekuatan partai-partai aliran. Kekuatan politik aliran juga telah terbukti pada pemilu 1999.
Pada masa pasca Soeharto Vedy Hardis mengkaji mengenai Neo-Institusionalis dalam melihat kajian politik Indonesia. Dalam kajian yang dilakukan Vedy Hardis munculnya  

ü Melihat penjelasan mengenai fokus dan lokus pada kajian politik indonesia maka ada beberapa hal yang bergeser dan tetap dalam kajian politik indonesia. Berdasarkan tulisan di atas fokus dari setiap lokus adalah sama yaitu masyarakat (society) dan negara dengan lokus yang berbeda yaitu adanaya masa pemerintahan yang berganti sesuai dengan periodenya. Ada pergeseran dari lokus dan fokus juga dikarenakan setiap periode memiliki pemikiran yang berbeda dalam melaksanakan pemerintahan di Indonesia. Pergeseran tersebut berupa yang awalnya tidak ada pluralisme dalam negara dan kemudian pada masa sekarang yaitu reformasi telah berubah dengan adanya pluralisme dari negara. Selain itu pergeseran tersebut ditandai dengan adanya state centric menuju society centric dengan adanya negara otonom kemudian pluralisme negara, pluralisme terbatas dan pluralisme masyarakat.

2.        Kritik pada kajian politik indonesia adalah bahwa dalam menjelaskan fokus atau pun lokus dalam kajian ini adalah tidak terdapat adanya kelemahan ataupun kelebihan dari setiap perspektif dalam melihat negara dan masyrakat dalam penggunaannya melihat kondisi Indonesia mulai dari masa kolonial, orde lama, orde baru sampai kepada masa reformasi.
       Melihat pandangan dari berbagai para ilmuwan Indonesianis mereka tidak memandang faktor lain dalam melihat politik indonesia yaitu faktor eksternal seperti campur tangan negara lain atau pihak internasional dalam menciptakan politik Indonesia dan melihat pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat hanya di daerah jawa tetapi tidak diluar jawa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar