Powered By Blogger

11 Januari 2013

KONFLIK KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS PERTAMBANGAN


KONFLIK KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS PERTAMBANGAN (UU NO 4 TAHUN 2009 TENTANG MINERAL DAN BATUBARA ) DI PROVINSI BANGKA BELITUNG

I.       PENDAHULUAN
Tulisan ini akan membahas mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat menjadi sebuah konflik dan menimbulkan resistensi dari masyarakat di Provinsi Bangka Belitung. Tujuan penulisan ini melihat resiko dari UU No 4 Tahun 2009 terhadap perekonomian masyarakat di Bangka Belitung yang mayoritas hidup dari sektor pertambangan tersebut.
Konflik yang terjadi tidak hanya konflik antara negara dan masyarakat, konflik hubungan pusat dan daerah, konflik sumberdaya alam, konflik identitas, tetapi terdapat konflik yang timbul dari sebuah kebijakan pemerintah. Konflik muncul karena adanya kesenjangan sumber daya (material,kekuasaan, akses politik, dan otoritas. Seperti yang dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot (1978), konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik mempunyai tujuan yang berbeda[1]. Konflik bisa juga terjadi karena tujuan pihak yang terlibat konflik sama, tetapi cara untuk mencapainya berbeda.
Kebijakan pemerintah sebagai kebijakan publik merupakan suatu kebijakan yang seharusnya mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada didalam masyarakat, tetapi pada saat diberlakukannya kebijakan tidak jarang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat. Undang-undang sebagai hasil dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat (DPR+Presiden) juga sering menjadi konflik terhadap masyarakat. Hal tersebut tercermin dari isi dari kebijakan tersebut tidak memihak kepada rakyat tetapi kepada pihak lain. Selain dari sisi isi konflik dari kebijakan juga terjadi dari proses pembuatan kebijakan tersebut maupun dalam pengimplementasian atau pelaksanaan kebijakan tersebut.
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi sebab sebuah kebijakan atau keputusan ditolak dalam proses implementasinya (Wibawa, 1994; 40) pertama, kelompok sasaran tidak membutuhkan dan juga tidak memperoleh manfaat dari kebijakan atau keputusan tersebut. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang elitis. Kemungkinan kedua dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group adalah karena kelompok sasaran tidak menyadari manfaat dari keputusan tersebut, dan oleh karena itu mereka tidak merasa membutuhkannya.
Salah satu kebijakan pemerintah yang menjadi konflik adalah dibuatnya Undang-undang No 4 Tahun 2009 mengenai Mineral dan Batu Bara. Penyebab Undang-undang ini menjadi konflik yaitu ada beberapa pasal dari Undang-undang tersebut mengalami penolakan dari masyarakat seperti pasal 22 mengenai penambangan di Daerah Aliran Sungai dan mengenai luas wilayah minimal untuk melakukan penambangan. Bangka Belitung sebagai salah satu daerah yang memiliki wilayah pertambangan yang besar dan masyarakat yang mayoritas hidup dari sector pertambangan sangat merasa dirugikan akibat dikeluarkannya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 mengenai Minerba tersebut. Masyarakat Bangka Belitung yang mayoritasnya hidup dari sektor pertambangan tidak bisa berbuat apa-apa ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Asosiasi Tambang Rakyat Indonesia di Bangka Belitung sebagai wakil dari masyarakat yang bekerja disektor pertambangan menilai kebijakan Minerba tersebut sangat merugikan atau setidaknya berpotensi untuk dirugikan. Dalam undang-undang tersebut dinilai mempersulit dalam melakukan penambangan timah khususnya bagi para pengusaha kecil dan menengah. Fenomena yang terjadi di Bangka Belitung akibat adanya kebijakan pemerintah atas UU Minerba tersebut menuai konflik yang dinilai tidak merepresentasikan kepentingan rakyat dan memperhambat perekonomian masyarakat di Bangka Belitung yang mayoritas mendapatkan penghasilan ekonomi dari sektor pertambangan dan Undang-Undang yang harusnya lahir sebagai sebuah solusi tapi justru menimbulkan masalah baru.
Tulisan ini akan mencoba memaparkan; pertama, apa yang menjadi penyebab dan pemicu dilakukannya resistensi terhadap kebijakan pemerintah dan siapa aktor dalam resistensi tersebut; kedua, resiko yang ditimbulkan ketika kebijakan tersebut diberlakukan; ketiga, bagaimana resolusi dari resistensi yang dilakukan terhadap kebijakan Minerba.

II.    PEMBAHASAN
A.    Penyebab dan Pemicu tindakan resistensi di Bangka Belitung terhadap kebijakan
Kebijakan pemerintah atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara merupakan Undang-Undang yang diterbitkan menggantikan Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Diterbitkannya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 karena Undang-Undang yang sebelumnya sudah tidak sesuai  lagi dengan kondisi saat ini, selain itu Undang-Undang ini dibuat dengan alasan karena telah terjadi kerusakan lingkungan yang sangat parah akibat dari dilakukannya penambangan dan pencemaran limbah yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Undang-Undang tersebut diharpkan memberi solusi terhadap masyarakat lokal atau masyarakat adat yang biasanya terkena dampak langsung dari kebijakan pertambangan. Pembangunan sektor pertambangan pada hakekatnya merupakan upaya pengembangan sumber daya alam mineral dan energy yang potensial untuk dimanfatkan secara hemat dan optimal bagi kepentinga masyarakat. Bahan galian yang paling banyak dieksploitir selama ini dan telah banyak diusahakan secara besar-besaran oleh pemerintah adalah timah. Bangka Belitung merupakan Provinsi yang kaya akan kekayaan alamnya yaitu timah. Kekayaan alam yang sampai sekarang ini masih menjadi primadona bagi rakyat Bangka Belitung dan telah menjadi kekuatan tersendiri yang mampu membuat Bangka Belitung menjadi perhatian masyarakat dunia.
Provinsi Bangka Belitung sebagai salah satu daerah yamg memiliki wilayah pertambangan khususnya timah berharap dengan adanya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tersebut dapat mewakili aspirasi masyarakat yang mayoritas bekerja di sektor pertambangan. Seiring perjalanan waktu masyarakat Bangka Belitung merasa bahwa kebijakan pemerintah yang seharusnya mengandung misi untu kemakmuran masyarakat malah menjadi paradoks yaitu menjadi sebuah permasalahan bagi masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan. Penambangan timah merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang sampai saat ini meruapakan penyumbang devisa Negara dan pendapatan daerah terbesar di Bangka Belitung. Kebijakan Minerba yang telah ditetapkan oleh pemerintah menjadi sebuah konflik tersendiri di daerah Bangka Belitung. Berbagai perbaikan pengaturan telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU tersebut bakal menjadi peraturan yang sangat ampuh untuk mengatur pertambangan di tanah air.
Masyarakat yang hidup dari sektor pertambangan yang tergabung dalam Asosiasi Tambang Rakyat Daerah (ASTRADA) menyesalkan diterbitkan Undang-Undang No 4 Tahun 2009, alasannya karena beberapa pasal yang terdapat dalam kebijakan tersebut sangat memberatkan masyarakat penambang di daerah Bangka Belitung. Selain itu Asosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI) juga keberatan atar penerbitan Undang-Undang tersebut sebagai kebijakan pemerintah. Masyarakat melakukan resistensi yang dikarenakan munculnya sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan masyarakat yang hidup dari sektor pertambangan khususnya masyarakat kecil dan menengah. Menurut Asosiasi tersebut UU Minerba tidak cocok diterapkan di Bangka Belitung dan juga pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut sangat merugikan masyarakat tambang di Bangka Belitung dalam hal konteks hak-hak dasar dan hak-hak sujektifitas, begitu juga dengan WALHI yang mengecewakan diterbirtkannya UU Minerba yang akan merusak lingkungan hidup. Penerbitan Undang-Undang Minerba tersebut ternyata membawa dampak negative yang sangat besar terahadap masyarakat tambang di daerah Bangka Belitung, sehingga masyarakat dalam gabungan asosiasi beserta pemerintah setempat melakukan judicial review terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Masyarakat tetap saja mengalami kecemasan terhadap UU ini dikarenakan kebijakan ini memiliki kelemahan proteksi terhadap negara dan dominasi modal untuk mendapatkan wilayah usaha penambangan. Banyaknya pasal yang tidak mementingkan kepentingan masyarakat membuat masyarakat beserta asosiasi tersebut berulang kali mengajukan juducal review kepada MK terhadap kebijakan tersebut, tetapi sampai saat ini hasil yang didapat belum ada.
Beberapa hal yang menjadi keberatan masyarakat penambang baik ASTRADA, APTI, dan WALHI di Babel terhadap Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba adalah:
1. Isi dari UU yang tertuang dalam pasal 22 yaitu mengarahkan masyarakat untuk melakukan  kegiatan penambangan di dekat Daerah Aliran Sungai (DAS). Padahal, penambangan di DAS juga jelas-jelas dilarang oleh beberapa UU lainnya.
2. Luas wilayah minimal untuk melakukan kegiatan penambangan, luas wilayah minimal yang disyaratkan UU Minerba adalah lima ribu hektare.
3. Keberatan dengan sistem untuk memperoleh kuasa penambangan (KP), UU Minerba mengharuskan sistem tender dalam upaya memperoleh kuasa penambangan.

Berbagai konflik yang diakibatkan dari kebijakan pemerintah khususnya Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Mineral dan Batu Bara membuat masyarakat tambang dan asosiasi tambang di Bangka Belitung melakukan perlawanan dengan menggungat ke MK dalam pengajuan revisi terhadap UU tersebut. Walaupun pada pelaksanaannya kebijakan ini belum berjalan secara efketif di Bangka Belitung karena selalu memunculkan permasalahan terhadap isi dari kebijakan. Kebijakan Minerba yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi faktor pemicu konflik bagi masyarakat tambang dan juga dengan pengusaha kecil tambang yang illegal.

B.     Aktor Dalam penolakan atas kebijakan pemerintah
Kebijakan pemerintah berupa Undang-Undang dibuat oleh pihak legislative yaitu DPR bersama dengan presiden. Kebijakan pada dasarnya merupakan kebijakan yang dibuat dengan berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada, begitu juga dengan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 ini yang awalnya dibuat untuk menjaga lingkungan hidup dan meminimalisir permasalahn yang terjadi dipertambangan. Meskipun pada akhirnya kebijakan ini menjadi konflik bagi masyarakat di daerah-daerah tertentu yang besar sektor pertambangannya dan mengalami penolakan yang sangat keras.
Resistensi yang muncul akibat Undang-Undang No 4 Tahun 2009 terjadi di daerah Bangka Belitung, banyak aktor yang memiliki kekuatan dan kepentingan dalam penenetu dalam kebijakan tersebut. Aktor yang berperan dalam resitensi tersebut adala Mahkamah Konstitusi, Pemerintah khususnya Kementrian ESDM, WALHI, PT.Timah, PT.Kobaltin, ASTRADA, APTI, setiap aktor ini memiliki kepentingan yang berbeda serta kekuatan yang lain dalam mempengaruhi resistensi kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat. Mekipun demikian seluruh aktor ini memiliki tujuan yang sama untuk mengubah atau merevisi sebuha kebijakan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 menganai Mineral dan Batubara yang dinilai merugiakn masyarakat tambang.

C.     Resiko yang ditimbulkan ketika kebijakan tersebut diberlakukan.
Munculnya kebijakan atas mineral dan batubara membuat para masyarakat tambang merasa diasingkan. Banyak dampak yang ditimbulkan akibat dikeluarkannya kebijakan ini khususnya bagi masyarakat penambang di Bangka Belitung. Resistensi yang dilakukan oleh pihak asosiasi dan masyarakat adalah untuk meninjau kembali isi dari undang-undang tersebut sehingga tidak merugukan masyarakat setempat. Penjelasan sebelumnya telah memaparkan apa yang menjadi penyebab dan pemicu dari resistensi masyarakat yaitu diterbitkannya UU No 4 Tahun 2009 dan sepanjang dikeluarkannya kebijakan ini sampai saat ini belum diberlakukan karena adanya penolakan-penolakan dari isi Undang-undang tersebut. Hampir seluruh masyarakat penambang yang ada di Bangka Belitung merasa bahwa ketika kebijakan ini diberlakukan dan dijalankan dengan tidak merevisi isi dari undang-undang maka akan mematikan sektor pertambangan terutama yang dikelola rakyat dan swasta, selain PT.Timah dan PT.Kobatin. Selain itu perekonomian di Provinsi Bangka Belitung akan terkena dampak negative sebab sebagian besar warganya menggantungkan hidup di sektor pertambangan. Berbagai resiko akan muncul ketika kebijakan pemerintah diberlakukan atau dijalankan, banyak masyarakat yang akan menjadi tidak sejahtera karena undang-undang minerba.
Selain itu ada berbagai pasal yang menjadi permasalahan sehingga menyebabkan kebijakan tersebut menjadi konflik di daerah Bangka Belitung, ketentuan yang diatur pasal 22 hurup a dan hurup f, pasal 38 hurup a, pasal 52 ayat (1), pasal 55 ayat (1), pasal 58 ayat (1), pasal 61 ayat (1), pasal 55, pasal 60, pasal 169 ayat (1), 75 ayat (4), pasal 172 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berpotensi dapat memperkecil dan bahkan telah menghilangkan kesempatan masyarakat/ pengusaha kecil dan menengah untuk berusaha di bidang pertambangan khususnya pertambangan Timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah berlangsung selama ini.

Pengaruh Usaha Tambang Timah Terhadap Perekonomian di Bangka Belitung
            Awal maraknya aktivitas tambang timah di Bangka Belitung dimulai ketika harga lada anjlok pada awal tahun 2000-an. Sektor yang semula menjadi komoditas andalan di Bangka Belitung tidak lagi bisa diharapkan menjadi penggerak ekonomi masyarakat. Kondisi ini didukung dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 146/MPP/Kep/4/1999 tentang Pencabutan Timah sebagai komoditas strategis. Kesempatan “emas” ini langsung ditindaklanjuti oleh Bupati Bangka pada saat itu Eko Maulana Ali, dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka No. 6 tahun 2001 yang mengatur bahwa perusahaan atau perorangan lokal dapat membuka usaha pertambangan timah di luar Kuasa Penambangan (KP) milik PT. Timah (BUMN) dan PT Koba Tin (Joint Venture), dengan ketentuan bahwa mereka diwajibkan membayar royalti kepada pemerintah daerah.
            Kebijakan kepala daerah itu seakan menjadi “oase” bagi masyarakat yang selama ini merasa bahwa kehadiran PT. Timah dan PT. Koba Tin tidak banyak membantu kesulitan ekonomi mereka. Justru keberadaan kedua perusahaan Tambang Timah terbesar di Indonesia itu menciptakan dualisme ekonomi di Bangka Belitung, di satu sisi mereka menciptakan kantong-kantong (enclave) kemewahan di komplek perusahaan dan perumahaan para karyawannya, namun di sisi lain masyarakat yang berada disekitar perusahaan tambang itu masih banyak yang hidup dalam kemiskinan (Kasryno dkk, 2011).
            Sejak diberlakukannya kebijakan Bupati Bangka itu jumlah tambang rakyat (TR) pada tahun 2001 mencapai 70.000-an unit (www.kabarindonesia.com, 2008). Tambang rakyat yang juga dikenal dengan istilah tambang inkonvensional (TI) ini adalah kegitan penambangan timah yang memiliki kemampuan memindahkan tanah kurang dari 30 m3/jam, kapasitas terendah dalam sistem pertambangan modern (Zulkarnain dalam Subiman dan Resosudarmo, 2010).
            Perusahaan pertambangan yang bergerak dalam ekploitasi dan pengolahan bijih timah tidak dimonopoli lagi oleh PT. Timah dan PT. Kobatin, beberapa perusahaan swasta pun ikut mencoba peruntungan dalam usaha pertambangan ini, seperti terdapat dalam tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Daftar Perusahaan Smelter Timah
Yang Telah Mendapat Izin Sebagai Exportir Terdaftar (ET)

No.
Nama Perusahaan
Luas Kuasa Penambangan (Ha)
Keterangan
1.
PT. TIMAH Tbk.
473.800,06
Darat : 330.664,09 Ha
Laut : 143.135,97 Ha
2.
PT. KOBA TIN
41.680,30

3.
CV. DS Jaya Abadi
50,00

4.
PT. Bukit Timah
49,60

5.
PT. Bangka Putra Karya
255,00

6.
CV. Duta Putra Bangka
100,00

7.
PT. Billiton Makmur Lestari
374,00

8.
PT. Tinindo Inter Nusa
539,00

9.
CV. Donas Kembara
12,00

10.
PT. Sumber Jaya Indah
75,00

11.
PT. Sari Wiguna Bina Sentosa
121,00

12.
PT. Prima Timah Utama
50,00

13.
Yin Chinindo Minning Industry
87,20

14.
PT. Mitra Stania Prima
-

http://www.babelprov.go.id
Dari semua perusahaan smelter (peleburan) timah dalam tabel 1 di atas, hanya PT. Timah dan PT. Kobatin yang mampu memenuhi kebutuhan produksinya sendiri. Sedangkan selebihnya perusahaan-perusahaan swasta tersebut harus mengandalkan bijih timah yang dihasilkan oleh tambang rakyat untuk memenuhi kebutuhan produksi mereka. Di sini terlihat adanya saling ketergantungan antara para perusahaan smelter timah sebagai pembeli (demand) dengan tambang rakyat selaku pejual (supply). Walaupun pada kenyataannya hanya 30 % dari tambang rakyat yang memiliki izin (BPPT, 2001), selebihnya berupakan tambang illegal (illegal minning). Namun kehadiran perusahaan smelter timah milik swasta itu telah membuka lapangan kerja baru, selain usaha tambang rakyat itu sendiri.
            Dampak positif dari pertambangan timah yang dikelola oleh rakyat ini adalah membaiknya perekonomian masyarakat di Bangka Belitung pasca anjloknya harga lada, yang dapat dilihat dalam Indek Pembangunan Manusia (IPM) Bangka Belitung, seperti terdapat dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2
Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
Tahun 2002 – 2010

No
Propinsi
IPM / Ranking Tingkat Nasional
2002
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1.
Kep. Babel
65,4 /
20
69,6 /
12
70,68 /
12
71,18 / 12
71,62 / 10
72,19 / 10
72,55 /
11
72,86 /12

Dari data pada tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa IPM Bangka Belitung mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2010, walaupun ranking tingkat nasional mengalami fluktuatif.
            Timah tetap menjadi salah satu andalan perekonomian di Bangka Belitung, data produk domestik regional bruto (PDRB) Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 – 2011 atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha (http://babel.bps.go.id.), menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian (terutama pertambangan timah) termasuk ke dalam sektor yang berkembang dengan perbandingan sebagai berikut :
- angka rata-rata sektor pertambangan dan penggalian ≥ Angka rata-rata PDRB sektor
                                              (Rp. 1.516.650,57*)  ≥ (Rp. 1.108.732,07*)
- rata-rata laju pertumbuhan PDRB < rata-rata laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian
                                          0,79  < 4,86
Keterangan :
*dalam jutaan rupiah

D.    Resolusi dari resistensi yang dilakukan masyarakat
Keberatan Pelaku Pertambangan Timah Terhadap Undang-undang No. 4 tahun 2009
            Beberapa pasal dalam Undang-undang yang mengatur pertambangan mineral dan batubara tersebut, sangat merugikan pertambangan swasta dan tambang rakyat, selain Bagi PT. Timah dan PT. Kobatin. Berikut ini tabel 3 tentang pasal-pasal yang dianggap akan merugikan tambang milik swasta dan tambang rakyat.
Tabel 3
Beberapa pasal dalam UU No. 4 tahun 2009

No
Nama Usaha
Isi Pasal
1.
Tambang Milik
Swasta
Pasal 52
(1)   Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.

2.
Tambang Rakyat
Pasal 22
Kriteria untuk menetapkan WPR adalah. sebagai berikut :
a.   mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;
b.   mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
c.   endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
d.  luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektare;
e.   menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/ atau
f.    merupakan wilayah atau tempat kegiatan tarnbang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.

Bagi PT. Timah maupun PT. Kobatin dikeluarkannya undang-undang tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi mereka. Sebab mereka telah memiliki wilayah kuasa penambangan (KP) atau dalam Undang-undang No. 4 tahun 2009 disebut dengan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang melebihi batas minimal yang ditetapkan oleh undang-undang tersebut yaitu 5.000 ha dan maksimal 100.000 ha. PT. Timah memiliki WIUP seluas 473.800,06 hektar (ha) yang terdiri dari ; darat 330.664,09 ha, dan laut 143.135,97 ha. Sedangkan PT. Kobatin memiliki WIUP seluas 41.680,30 ha. Kondisi yang berbeda terjadi pada para pelaku pertambangan timah lainnya, yaitu ; usaha tambang swasta dan tambang rakyat. Tambang milik swasta hanya memiliki WIUP yang luasnya tidak mencapai batas minimal 5.000 ha (lihat tabel 1). Sedangkan tambang rakyat hanya boleh beroperasi di wilayah-wilayah dengan kriteria seperti terdapat dalam tabel 3 di atas. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah masyarakat atau tambang rakyat diarahkan untuk menambang di daerah aliran sungai (DAS) yang sangat bertentangan dengan undang-undang tentang lingkungan hidup.
Selain itu menurut Dharma Sutomo, SH salah seorang praktisi hukum di Bangka Belitung (wawancara via telepon seluler tanggal 14 Mei 2012), sampai saat ini pemerintah belum menetapkan wilayah yang menjadi wilayah pertambangan (WP) sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Dharma Sutomo menambahkan bahwa suatu wilayah dapat ditetapkan menjadi WP jika memiliki potensi mineral atau batubara. Tidak mengherankan jika sampai saat ini undang-undang No. 4 tahun 2009 itu belum diberlakukan, sebab WP merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.
            Kekhawatiran para pelaku pertambangan ini cukup beralasan, sebab dengan luas wilayah  81.725,14 km2 (8.172.514 ha), yang terdiri dari daratan lebih kurang 16.424,14 km2 (1.642.414 ha) dan luas laut lebih kurang 65.301 km2 (6.530.100 ha) (http://www.babelprov.go.id), sangat sulit untuk memperoleh lahan seluas 5.000 ha satu hamparan. Apalagi timah sebagai salah satu kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui, pengeksploitasiannya telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda sampai saat ini.
Masyarakat tambang yang tergabung dalam Asosiasi-asosiasi berharap pemerintah dapat merevisi undang-undang tersebut sebelum diberlakukan sehingga dengan melihat kondisi dari masyarakat yang bekerja dari sektor pertambangan. Selanjutnya ASTRADA dan APTI serta WALHI berharap judicial review yang diajukan kepada MK agar segera mendapatkan persetujuan dengan tidak memperlama waktu persetujuan. Dalam usulan revisi beberapa pasal krusial di UU Minerba, yang tidak cocok diterapkan di Babel, nantinya diharapkan agar pihak yang memiliki kuasa penambangan diperbolehkan memberikan mitra dalam pencapaian target produksi. Mitra yang dimaksud adalah masyarakat tambang di Babel.
            Adanya resistensi yang dilakukan oleh masyarakat atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat memberi arti bahwa kebijakan tersebut asal dibuat oleh pemerintah pusat sehingga menghadirkan konflik dengan kata lain kebijakan tersebut tidak peka terhadap konflik. Selain itu dapat dikatakan juga karena kebijakan tersebut menghasilkan konflik karena tidak mengundang para stake holder.
           










[1] Wirawan, konflik dan manajemen konflik teori, aplikasi dan penelitian.