KONFLIK
KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS PERTAMBANGAN (UU NO 4 TAHUN 2009 TENTANG MINERAL DAN BATUBARA ) DI
PROVINSI BANGKA BELITUNG
I.
PENDAHULUAN
Tulisan
ini akan membahas mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
menjadi sebuah konflik dan menimbulkan resistensi dari masyarakat di Provinsi
Bangka Belitung. Tujuan penulisan ini melihat resiko dari UU No 4 Tahun 2009
terhadap perekonomian masyarakat di Bangka Belitung yang mayoritas hidup dari
sektor pertambangan tersebut.
Konflik
yang terjadi tidak hanya konflik antara negara dan masyarakat, konflik hubungan
pusat dan daerah, konflik sumberdaya alam, konflik identitas, tetapi terdapat
konflik yang timbul dari sebuah kebijakan pemerintah. Konflik muncul karena
adanya kesenjangan sumber daya (material,kekuasaan, akses politik, dan
otoritas. Seperti yang dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot (1978), konflik
terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik mempunyai tujuan yang berbeda[1].
Konflik bisa juga terjadi karena tujuan pihak yang terlibat konflik sama,
tetapi cara untuk mencapainya berbeda.
Kebijakan
pemerintah sebagai kebijakan publik merupakan suatu kebijakan yang seharusnya
mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada didalam masyarakat, tetapi
pada saat diberlakukannya kebijakan tidak jarang menimbulkan konflik yang dapat
merugikan masyarakat. Undang-undang sebagai hasil dari kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah pusat (DPR+Presiden) juga sering menjadi konflik terhadap
masyarakat. Hal tersebut tercermin dari isi dari kebijakan tersebut tidak
memihak kepada rakyat tetapi kepada pihak lain. Selain dari sisi isi konflik
dari kebijakan juga terjadi dari proses pembuatan kebijakan tersebut maupun
dalam pengimplementasian atau pelaksanaan kebijakan tersebut.
Ada
beberapa kemungkinan yang menjadi sebab sebuah kebijakan atau keputusan ditolak
dalam proses implementasinya (Wibawa, 1994; 40) pertama, kelompok sasaran tidak
membutuhkan dan juga tidak memperoleh manfaat dari kebijakan atau keputusan
tersebut. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan
dalam suatu proses konversi yang elitis. Kemungkinan kedua dari ditolaknya
keputusan atau kebijakan oleh target group adalah karena kelompok sasaran tidak
menyadari manfaat dari keputusan tersebut, dan oleh karena itu mereka tidak
merasa membutuhkannya.
Salah
satu kebijakan pemerintah yang menjadi konflik adalah dibuatnya Undang-undang
No 4 Tahun 2009 mengenai Mineral dan Batu Bara. Penyebab Undang-undang ini
menjadi konflik yaitu ada beberapa pasal dari Undang-undang tersebut mengalami
penolakan dari masyarakat seperti pasal 22 mengenai penambangan di Daerah
Aliran Sungai dan mengenai luas wilayah minimal untuk melakukan penambangan.
Bangka Belitung sebagai salah satu daerah yang memiliki wilayah pertambangan
yang besar dan masyarakat yang mayoritas hidup dari sector pertambangan sangat
merasa dirugikan akibat dikeluarkannya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 mengenai
Minerba tersebut. Masyarakat Bangka Belitung yang mayoritasnya hidup dari
sektor pertambangan tidak bisa berbuat apa-apa ketika pemerintah mengeluarkan
kebijakan tersebut. Asosiasi Tambang Rakyat Indonesia di Bangka Belitung
sebagai wakil dari masyarakat yang bekerja disektor pertambangan menilai
kebijakan Minerba tersebut sangat merugikan atau setidaknya berpotensi untuk
dirugikan. Dalam undang-undang tersebut dinilai mempersulit dalam melakukan
penambangan timah khususnya bagi para pengusaha kecil dan menengah. Fenomena
yang terjadi di Bangka Belitung akibat adanya kebijakan pemerintah atas UU
Minerba tersebut menuai konflik yang dinilai tidak merepresentasikan
kepentingan rakyat dan memperhambat perekonomian masyarakat di Bangka Belitung
yang mayoritas mendapatkan penghasilan ekonomi dari sektor pertambangan dan Undang-Undang
yang harusnya lahir sebagai sebuah solusi tapi justru menimbulkan masalah baru.
Tulisan
ini akan mencoba memaparkan; pertama,
apa yang menjadi penyebab dan pemicu dilakukannya resistensi terhadap kebijakan
pemerintah dan siapa aktor dalam resistensi tersebut; kedua, resiko yang ditimbulkan ketika kebijakan tersebut
diberlakukan; ketiga, bagaimana
resolusi dari resistensi yang dilakukan terhadap kebijakan Minerba.
II.
PEMBAHASAN
A.
Penyebab
dan Pemicu tindakan resistensi di Bangka Belitung terhadap kebijakan
Kebijakan pemerintah
atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara merupakan
Undang-Undang yang diterbitkan menggantikan Undang-Undang No 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Diterbitkannya Undang-Undang No
4 Tahun 2009 karena Undang-Undang yang sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini, selain itu
Undang-Undang ini dibuat dengan alasan karena telah terjadi kerusakan
lingkungan yang sangat parah akibat dari dilakukannya penambangan dan
pencemaran limbah yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Undang-Undang
tersebut diharpkan memberi solusi terhadap masyarakat lokal atau masyarakat
adat yang biasanya terkena dampak langsung dari kebijakan pertambangan.
Pembangunan sektor pertambangan pada hakekatnya merupakan upaya pengembangan
sumber daya alam mineral dan energy yang potensial untuk dimanfatkan secara
hemat dan optimal bagi kepentinga masyarakat. Bahan galian yang paling banyak
dieksploitir selama ini dan telah banyak diusahakan secara besar-besaran oleh pemerintah
adalah timah. Bangka Belitung merupakan Provinsi yang kaya akan kekayaan
alamnya yaitu timah. Kekayaan alam yang sampai sekarang ini masih menjadi
primadona bagi rakyat Bangka Belitung dan telah menjadi kekuatan tersendiri
yang mampu membuat Bangka Belitung menjadi perhatian masyarakat dunia.
Provinsi
Bangka Belitung sebagai salah satu daerah yamg memiliki wilayah pertambangan
khususnya timah berharap dengan adanya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tersebut
dapat mewakili aspirasi masyarakat yang mayoritas bekerja di sektor
pertambangan. Seiring perjalanan waktu masyarakat Bangka Belitung merasa bahwa
kebijakan pemerintah yang seharusnya mengandung misi untu kemakmuran masyarakat
malah menjadi paradoks yaitu menjadi sebuah permasalahan bagi masyarakat yang
bekerja di sektor pertambangan. Penambangan timah merupakan kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam yang sampai saat ini meruapakan penyumbang devisa
Negara dan pendapatan daerah terbesar di Bangka Belitung. Kebijakan Minerba
yang telah ditetapkan oleh pemerintah menjadi sebuah konflik tersendiri di
daerah Bangka Belitung. Berbagai perbaikan pengaturan telah dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU
tersebut bakal menjadi peraturan yang sangat ampuh untuk mengatur pertambangan
di tanah air.
Masyarakat
yang hidup dari sektor pertambangan yang tergabung dalam Asosiasi Tambang
Rakyat Daerah (ASTRADA) menyesalkan diterbitkan Undang-Undang No 4 Tahun 2009,
alasannya karena beberapa pasal yang terdapat dalam kebijakan tersebut sangat
memberatkan masyarakat penambang di daerah Bangka Belitung. Selain itu Asosiasi
Pengusaha Timah Indonesia (APTI) juga keberatan atar penerbitan Undang-Undang
tersebut sebagai kebijakan pemerintah. Masyarakat melakukan resistensi yang
dikarenakan munculnya sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan masyarakat yang
hidup dari sektor pertambangan khususnya masyarakat kecil dan menengah. Menurut
Asosiasi tersebut UU Minerba tidak cocok diterapkan di Bangka Belitung dan juga
pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut sangat merugikan
masyarakat tambang di Bangka Belitung dalam hal konteks hak-hak dasar dan
hak-hak sujektifitas, begitu juga dengan WALHI yang mengecewakan
diterbirtkannya UU Minerba yang akan merusak lingkungan hidup. Penerbitan
Undang-Undang Minerba tersebut ternyata membawa dampak negative yang sangat
besar terahadap masyarakat tambang di daerah Bangka Belitung, sehingga
masyarakat dalam gabungan asosiasi beserta pemerintah setempat melakukan judicial review terhadap kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Undang-undang No 4 Tahun 2009
tentang Minerba. Masyarakat tetap saja mengalami kecemasan terhadap UU ini dikarenakan
kebijakan ini memiliki kelemahan proteksi terhadap negara dan dominasi modal
untuk mendapatkan wilayah usaha penambangan. Banyaknya pasal yang tidak
mementingkan kepentingan masyarakat membuat masyarakat beserta asosiasi
tersebut berulang kali mengajukan juducal review kepada MK terhadap kebijakan
tersebut, tetapi sampai saat ini hasil yang didapat belum ada.
Beberapa
hal yang menjadi keberatan masyarakat penambang baik ASTRADA, APTI, dan WALHI di
Babel terhadap Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba adalah:
1. Isi dari UU yang tertuang dalam pasal 22
yaitu mengarahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan penambangan di dekat
Daerah Aliran Sungai (DAS). Padahal, penambangan di DAS juga jelas-jelas
dilarang oleh beberapa UU lainnya.
2. Luas
wilayah minimal untuk melakukan kegiatan penambangan, luas wilayah minimal yang
disyaratkan UU Minerba adalah lima ribu hektare.
3. Keberatan
dengan sistem untuk memperoleh kuasa penambangan (KP), UU Minerba mengharuskan
sistem tender dalam upaya memperoleh kuasa penambangan.
Berbagai
konflik yang diakibatkan dari kebijakan pemerintah khususnya Undang-Undang No 9
Tahun 2004 tentang Mineral dan Batu Bara membuat masyarakat tambang dan
asosiasi tambang di Bangka Belitung melakukan perlawanan dengan menggungat ke
MK dalam pengajuan revisi terhadap UU tersebut. Walaupun pada pelaksanaannya
kebijakan ini belum berjalan secara efketif di Bangka Belitung karena selalu
memunculkan permasalahan terhadap isi dari kebijakan. Kebijakan Minerba yang
dikeluarkan oleh pemerintah menjadi faktor pemicu konflik bagi masyarakat
tambang dan juga dengan pengusaha kecil tambang yang illegal.
B.
Aktor
Dalam penolakan atas kebijakan pemerintah
Kebijakan
pemerintah berupa Undang-Undang dibuat oleh pihak legislative yaitu DPR bersama
dengan presiden. Kebijakan pada dasarnya merupakan kebijakan yang dibuat dengan
berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada, begitu juga dengan
Undang-Undang No 4 Tahun 2009 ini yang awalnya dibuat untuk menjaga lingkungan
hidup dan meminimalisir permasalahn yang terjadi dipertambangan. Meskipun pada
akhirnya kebijakan ini menjadi konflik bagi masyarakat di daerah-daerah
tertentu yang besar sektor pertambangannya dan mengalami penolakan yang sangat
keras.
Resistensi
yang muncul akibat Undang-Undang No 4 Tahun 2009 terjadi di daerah Bangka
Belitung, banyak aktor yang memiliki kekuatan dan kepentingan dalam penenetu
dalam kebijakan tersebut. Aktor yang berperan dalam resitensi tersebut adala
Mahkamah Konstitusi, Pemerintah khususnya Kementrian ESDM, WALHI, PT.Timah,
PT.Kobaltin, ASTRADA, APTI, setiap aktor ini memiliki kepentingan yang berbeda
serta kekuatan yang lain dalam mempengaruhi resistensi kebijakan yang telah
dibuat oleh pemerintah pusat. Mekipun demikian seluruh aktor ini memiliki
tujuan yang sama untuk mengubah atau merevisi sebuha kebijakan Undang-Undang No
4 Tahun 2009 menganai Mineral dan Batubara yang dinilai merugiakn masyarakat
tambang.
C. Resiko yang ditimbulkan ketika
kebijakan tersebut diberlakukan.
Munculnya
kebijakan atas mineral dan batubara membuat para masyarakat tambang merasa
diasingkan. Banyak dampak yang ditimbulkan akibat dikeluarkannya kebijakan ini
khususnya bagi masyarakat penambang di Bangka Belitung. Resistensi yang
dilakukan oleh pihak asosiasi dan masyarakat adalah untuk meninjau kembali isi
dari undang-undang tersebut sehingga tidak merugukan masyarakat setempat.
Penjelasan sebelumnya telah memaparkan apa yang menjadi penyebab dan pemicu
dari resistensi masyarakat yaitu diterbitkannya UU No 4 Tahun 2009 dan
sepanjang dikeluarkannya kebijakan ini sampai saat ini belum diberlakukan
karena adanya penolakan-penolakan dari isi Undang-undang tersebut. Hampir
seluruh masyarakat penambang yang ada di Bangka Belitung merasa bahwa ketika
kebijakan ini diberlakukan dan dijalankan dengan tidak merevisi isi dari
undang-undang maka akan mematikan sektor pertambangan terutama yang dikelola
rakyat dan swasta, selain PT.Timah dan PT.Kobatin. Selain itu perekonomian di
Provinsi Bangka Belitung akan terkena dampak negative sebab sebagian besar
warganya menggantungkan hidup di sektor pertambangan. Berbagai resiko akan muncul
ketika kebijakan pemerintah diberlakukan atau dijalankan, banyak masyarakat
yang akan menjadi tidak sejahtera karena undang-undang minerba.
Selain itu ada
berbagai pasal yang menjadi permasalahan sehingga menyebabkan kebijakan
tersebut menjadi konflik di daerah Bangka Belitung, ketentuan yang diatur pasal 22
hurup a dan hurup f, pasal 38 hurup a, pasal 52
ayat (1), pasal 55
ayat (1), pasal 58 ayat (1), pasal 61 ayat (1), pasal 55, pasal 60, pasal
169 ayat (1), 75
ayat (4), pasal 172 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral
dan Batubara berpotensi dapat memperkecil dan bahkan telah
menghilangkan
kesempatan masyarakat/ pengusaha kecil dan menengah untuk berusaha
di bidang
pertambangan khususnya pertambangan Timah di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung yang telah
berlangsung selama ini.
Pengaruh Usaha Tambang Timah Terhadap
Perekonomian di Bangka Belitung
Awal maraknya aktivitas tambang timah di Bangka Belitung
dimulai ketika harga lada anjlok pada awal tahun 2000-an. Sektor yang semula
menjadi komoditas andalan di Bangka Belitung tidak lagi bisa diharapkan menjadi
penggerak ekonomi masyarakat. Kondisi ini didukung dengan diberlakukannya
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 146/MPP/Kep/4/1999 tentang Pencabutan
Timah sebagai komoditas strategis. Kesempatan “emas” ini langsung ditindaklanjuti
oleh Bupati Bangka pada saat itu Eko Maulana Ali, dengan mengeluarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Bangka No. 6 tahun 2001 yang mengatur bahwa perusahaan atau
perorangan lokal dapat membuka usaha pertambangan timah di luar Kuasa
Penambangan (KP) milik PT. Timah (BUMN) dan PT Koba Tin (Joint Venture), dengan ketentuan bahwa mereka diwajibkan membayar
royalti kepada pemerintah daerah.
Kebijakan kepala daerah itu seakan
menjadi “oase” bagi masyarakat yang selama ini merasa bahwa kehadiran PT. Timah
dan PT. Koba Tin tidak banyak membantu kesulitan ekonomi mereka. Justru
keberadaan kedua perusahaan Tambang Timah terbesar di Indonesia itu menciptakan
dualisme ekonomi di Bangka Belitung, di satu sisi mereka menciptakan
kantong-kantong (enclave) kemewahan
di komplek perusahaan dan perumahaan para karyawannya, namun di sisi lain
masyarakat yang berada disekitar perusahaan tambang itu masih banyak yang hidup
dalam kemiskinan (Kasryno dkk, 2011).
Sejak diberlakukannya kebijakan
Bupati Bangka itu jumlah tambang rakyat (TR) pada tahun 2001 mencapai 70.000-an
unit (www.kabarindonesia.com,
2008). Tambang rakyat yang juga dikenal dengan istilah tambang inkonvensional
(TI) ini adalah kegitan penambangan timah yang memiliki kemampuan memindahkan
tanah kurang dari 30 m3/jam, kapasitas terendah dalam sistem
pertambangan modern (Zulkarnain dalam Subiman dan Resosudarmo, 2010).
Perusahaan pertambangan yang
bergerak dalam ekploitasi dan pengolahan bijih timah tidak dimonopoli lagi oleh
PT. Timah dan PT. Kobatin, beberapa perusahaan swasta pun ikut mencoba
peruntungan dalam usaha pertambangan ini, seperti terdapat dalam tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1
Daftar Perusahaan Smelter Timah
Yang Telah Mendapat Izin Sebagai Exportir Terdaftar (ET)
Yang Telah Mendapat Izin Sebagai Exportir Terdaftar (ET)
No.
|
Nama Perusahaan
|
Luas Kuasa Penambangan (Ha)
|
Keterangan
|
1.
|
PT. TIMAH Tbk.
|
473.800,06
|
Darat : 330.664,09 Ha
Laut : 143.135,97 Ha |
2.
|
PT. KOBA TIN
|
41.680,30
|
|
3.
|
CV. DS Jaya Abadi
|
50,00
|
|
4.
|
PT. Bukit Timah
|
49,60
|
|
5.
|
PT. Bangka Putra Karya
|
255,00
|
|
6.
|
CV. Duta Putra Bangka
|
100,00
|
|
7.
|
PT. Billiton Makmur Lestari
|
374,00
|
|
8.
|
PT. Tinindo Inter Nusa
|
539,00
|
|
9.
|
CV. Donas Kembara
|
12,00
|
|
10.
|
PT. Sumber Jaya Indah
|
75,00
|
|
11.
|
PT. Sari Wiguna Bina Sentosa
|
121,00
|
|
12.
|
PT. Prima Timah Utama
|
50,00
|
|
13.
|
Yin Chinindo Minning Industry
|
87,20
|
|
14.
|
PT. Mitra Stania Prima
|
-
|
|
http://www.babelprov.go.id
Dari
semua perusahaan smelter (peleburan) timah dalam tabel 1 di atas, hanya PT.
Timah dan PT. Kobatin yang mampu memenuhi kebutuhan produksinya sendiri.
Sedangkan selebihnya perusahaan-perusahaan swasta tersebut harus mengandalkan
bijih timah yang dihasilkan oleh tambang rakyat untuk memenuhi kebutuhan
produksi mereka. Di sini terlihat adanya saling ketergantungan antara para
perusahaan smelter timah sebagai pembeli (demand)
dengan tambang rakyat selaku pejual (supply).
Walaupun pada kenyataannya hanya 30 % dari tambang rakyat yang memiliki izin
(BPPT, 2001), selebihnya berupakan tambang illegal (illegal minning). Namun kehadiran perusahaan smelter timah milik
swasta itu telah membuka lapangan kerja baru, selain usaha tambang rakyat itu
sendiri.
Dampak positif dari pertambangan
timah yang dikelola oleh rakyat ini adalah membaiknya perekonomian masyarakat
di Bangka Belitung pasca anjloknya harga lada, yang dapat dilihat dalam Indek
Pembangunan Manusia (IPM) Bangka Belitung, seperti terdapat dalam tabel 2 di
bawah ini.
Tabel
2
Indeks
Pembangunan Manusia Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
Tahun
2002 – 2010
No
|
Propinsi
|
IPM / Ranking Tingkat Nasional
|
|||||||
2002
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
||
1.
|
Kep. Babel
|
65,4 /
20
|
69,6 /
12
|
70,68 /
12
|
71,18 / 12
|
71,62 / 10
|
72,19 / 10
|
72,55 /
11
|
72,86 /12
|
Dari
data pada tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa IPM Bangka Belitung mengalami
peningkatan setiap tahunnya sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2010, walaupun
ranking tingkat nasional mengalami fluktuatif.
Timah tetap menjadi salah satu
andalan perekonomian di Bangka Belitung, data produk domestik regional bruto
(PDRB) Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 – 2011 atas dasar harga
konstan menurut lapangan usaha (http://babel.bps.go.id.),
menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian (terutama pertambangan
timah) termasuk ke dalam sektor yang berkembang dengan perbandingan sebagai
berikut :
- angka
rata-rata sektor pertambangan dan penggalian ≥ Angka rata-rata PDRB sektor
(Rp.
1.516.650,57*) ≥ (Rp. 1.108.732,07*)
- rata-rata
laju pertumbuhan PDRB < rata-rata laju pertumbuhan sektor pertambangan dan
penggalian
0,79 < 4,86
Keterangan :
*dalam jutaan rupiah
D.
Resolusi
dari resistensi yang dilakukan masyarakat
Keberatan Pelaku
Pertambangan Timah Terhadap Undang-undang No. 4 tahun 2009
Beberapa pasal dalam Undang-undang
yang mengatur pertambangan mineral dan batubara tersebut, sangat merugikan
pertambangan swasta dan tambang rakyat, selain Bagi PT. Timah dan PT. Kobatin.
Berikut ini tabel 3 tentang pasal-pasal yang dianggap akan merugikan tambang
milik swasta dan tambang rakyat.
Tabel 3
Beberapa pasal
dalam UU No. 4 tahun 2009
No
|
Nama
Usaha
|
Isi
Pasal
|
1.
|
Tambang
Milik
Swasta
|
Pasal 52
(1)
Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP
dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak
100.000 (seratus ribu) hektare.
|
2.
|
Tambang
Rakyat
|
Pasal
22
Kriteria untuk
menetapkan WPR adalah. sebagai berikut :
a.
mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat
di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;
b.
mempunyai cadangan primer logam atau batubara
dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
c.
endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai
purba;
d.
luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah
25 (dua puluh lima) hektare;
e.
menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang;
dan/ atau
f.
merupakan wilayah atau tempat kegiatan tarnbang
rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.
|
Bagi
PT. Timah maupun PT. Kobatin dikeluarkannya undang-undang tersebut tidak
terlalu berpengaruh bagi mereka. Sebab mereka telah memiliki wilayah kuasa
penambangan (KP) atau dalam Undang-undang No. 4 tahun 2009 disebut dengan
wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang melebihi batas minimal yang
ditetapkan oleh undang-undang tersebut yaitu 5.000 ha dan maksimal 100.000 ha.
PT. Timah memiliki WIUP seluas 473.800,06
hektar (ha) yang terdiri dari ; darat 330.664,09 ha, dan laut 143.135,97 ha.
Sedangkan PT. Kobatin memiliki WIUP seluas 41.680,30 ha. Kondisi
yang berbeda terjadi pada para pelaku pertambangan timah lainnya, yaitu ; usaha
tambang swasta dan tambang rakyat. Tambang milik swasta hanya memiliki WIUP
yang luasnya tidak mencapai batas minimal 5.000 ha (lihat tabel 1). Sedangkan
tambang rakyat hanya boleh beroperasi di wilayah-wilayah dengan kriteria
seperti terdapat dalam tabel 3 di atas. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah
masyarakat atau tambang rakyat diarahkan untuk menambang di daerah aliran sungai
(DAS) yang sangat bertentangan dengan undang-undang tentang lingkungan hidup.
Selain itu menurut Dharma Sutomo, SH salah seorang
praktisi hukum di Bangka Belitung (wawancara via telepon seluler tanggal 14 Mei
2012), sampai saat ini pemerintah belum menetapkan wilayah yang menjadi wilayah
pertambangan (WP) sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Dharma
Sutomo menambahkan bahwa suatu wilayah dapat ditetapkan menjadi WP jika
memiliki potensi mineral atau batubara. Tidak mengherankan jika sampai saat ini
undang-undang No. 4 tahun 2009 itu belum diberlakukan, sebab WP merupakan
landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.
Kekhawatiran para pelaku
pertambangan ini cukup beralasan, sebab dengan luas wilayah 81.725,14 km2 (8.172.514 ha), yang
terdiri dari daratan lebih kurang 16.424,14 km2 (1.642.414 ha) dan
luas laut lebih kurang 65.301 km2 (6.530.100 ha) (http://www.babelprov.go.id),
sangat sulit untuk memperoleh lahan seluas 5.000 ha satu hamparan. Apalagi
timah sebagai salah satu kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui,
pengeksploitasiannya telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda sampai saat
ini.
Masyarakat tambang yang
tergabung dalam Asosiasi-asosiasi berharap pemerintah dapat merevisi
undang-undang tersebut sebelum diberlakukan sehingga dengan melihat kondisi
dari masyarakat yang bekerja dari sektor pertambangan. Selanjutnya ASTRADA dan
APTI serta WALHI berharap judicial review
yang diajukan kepada MK agar segera mendapatkan persetujuan dengan tidak memperlama
waktu persetujuan. Dalam usulan revisi beberapa pasal krusial di UU
Minerba, yang tidak cocok diterapkan di Babel, nantinya diharapkan agar pihak
yang memiliki kuasa penambangan diperbolehkan memberikan mitra dalam pencapaian
target produksi. Mitra yang dimaksud adalah masyarakat tambang di Babel.
Adanya
resistensi yang dilakukan oleh masyarakat atas kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat memberi arti bahwa kebijakan tersebut asal dibuat oleh
pemerintah pusat sehingga menghadirkan konflik dengan kata lain kebijakan
tersebut tidak peka terhadap konflik. Selain itu dapat dikatakan juga karena
kebijakan tersebut menghasilkan konflik karena tidak mengundang para stake
holder.