Powered By Blogger

06 Juni 2012

Kembalikan Hak Tanah Rakyat

Kembalikan Hak Tanah Rakyat

            Wacana “kembalikan hak kami” sering kali muncuk ketika rakyat-rakyat kecil berdiri di depan kantor pemerintahan untuk menuntut apa yang seharusnya menjadi miliknya dan meminta pertanggungjawaban dari perbuatan pemerintah yang mengabaikan hak rakyat. Sengketa tanah merupakan salah satu masalah yang terjadi antar masyarakat dan pihak pemerintah baik aparat kepolisian, pemerintah lokal. Tidak menutup kemungkinan bahwa masalah sengeta tanah ini terjadi antara masyarakat dengan masyarakat daerah tersebut, masalah agraria ini juga sering terjadi antara masyarakat dan perusahaan-perusahaan swasta dengan masalah kepemilikan tanah yang ada. Sengketa tanah dan sumber agraria saat ini sering menjadi konflik yang ada di Indonesia, begitu banyak masalah muncul masalah agraria-agraria lainnya diberbagai daerah setelah salah satu daerah melakukan aksi dan pelaporan terhadap tanahnya.
            Adanya berbagai kasus sengketa tanah diberbagai daerah membuat kasus-kasus pertanahan muncul di berbagai media yang hampir ribuan konflik agraria. Masalah agraria dari dulu tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah dan lebih banyak membiarkan dan tidak menanggapi secara cepat dan tuntas. Munculnya berbagai sengketa tanah ini tidak secara cepat terjadi tetapi masalah tersebut telah berkembang yang telah lama didiamkan oleh negara.
            Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, adalah salah satu daerah yang akhir-akhir ini namanya begitu populer dimedia massa dan di telinga masyarakat. Daerah perbatasan yang menjadi konflik sengketa tanah antara masyarakat dan perusahaan yang ada di daerah tersebut. Siapa pemilik tanah sebenarnya, mana janji perusahaan untuk mengganti rugi kepada rakyat atas tanahnya, ini menjadi pertanyaan yang sering disampaikan oleh masyarakat ketika meminta pertanggungjawaban kepada perusahaan yang menggunakan tanah ulayat yang telah menjadi milik rakyat daerah sekitar. Kasus mesuji yang terjadi di Lampung dan Sumsel ini mulai mencuat ke publik ketika ada video yang diberitakan ke DPR RI yang diadukan oleh seorang warga di daerah tersebut. Dimana terjadi pembantaian rakyat sebanyak 30 orang akibat konflik lahan perusahaan sawit dengan penduduk yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 2009-2011. Konflik lahan Mesuji ini juga dikenal sebagai Register 45 yang sebenarnya sudah lama terjadi.
            Berdasarkan data dari Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum dan Masyarakat (HuMa) selama 10 tahun terakhir ada sekitar 108 konflik agraria yang terdapat di 10 provinsi di Indonesia. BPN mencatat ada ribuan yaitu sekitar 8000 konflik agraria di Indonesia. Pada konflik agraria ini didominasi oleh konflik teritorial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus).
Konflik agraria ini selalu melibatkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta, BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional dan Perhutani.          Selain itu aparat keamanan juga selalu terlibat seperti militer, pihak kepolisian dan ada juga keterlibatan preman. Perusahaan-perusahaan selalu memakai  mereka untuk mengamankan perusahaan dari segala tuntutan masyarakat atas tanah yang mereka dikuasai oleh perusahaan. Kasus konflik agraria yang terjadi di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan juga melibatkan aparat tersebut untuk membantu perusahaan-perusahaan perkebunan. Seperti telah disampaikan diatas bahwa terjadi pembantaian puluhan masyarakat yang dilakukan oleh aparat untuk membela sebuah perusahaan dengan mengabaikan hak hidup masyarakat. Konflik ini merupakan sebuah pelanggaran HAM yang dilandasi dari perampasan tanah masyarakat untuk perkebunan sawit yang terjadi disekitar 1990-an.
Polisi dan marinir dalam konflik Mesuji ini mulanya bersitegang dengan penduduk tiga desa yaitu Sri Tanjung, Kagungan Dalam, dan Nipah Kuning. Polisi menembak penduduk karena hendak menyerang petugas dan merusak bangunan perusahaan PT.Barat Selatan Makmur Investindo. Pada kasus ini ada lahan kelapa sawit yang diklaim oleh perusahaan, ada salah seorang warga menyatakan bahwa tanah itu adalah milik rakyat karena PT tersebut tidak tuntas membayar ganti rugi sejak tahun 1994. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dimiliki oleh beberapa orang pemegang saham.

Akar Permasalahan
Akar permasalahan dari konflik agraria adalah perampasan tanah ulayat, perizinan dan janji palsu oleh perusahaan perkebunan. Berbagai macam data yang ditemukan oleh masing-masing tim yang mengungkapkan konflik agraria di Mesuji. Beberapa kasus yang terjadi di Mesuji mengenai konflik agraria berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh melalui peninjauan langsung oleh tim dalam peninjauan kasus tersebut dimulai pada tahun 1991.
Terdapat tiga buah perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat sejak tahun 1991 di Register 45 yaitu PT. Silva Inhutani, PT.Sumber Wangi Alam, dan PT. Barat Selatan Makmur Investindo. Ketiga perusahaan ini kembali mengalami konflik pada tahun 2011 yang lalu setelah beberapa tahun pernah mengalamu konflik terhadap masyarakat yang hanya didiamkan oleh pemerintah. Dari data yang ada kasus ketiga perusahaan ini adalah:
1.      Konflik PT. Sumber Wangi Alam (SWA) dengan masyarakat di sungai Sodang, Kecamatan Mesuji Sumatera Selatan. Konflik ini terjadi pada 21 April 2011. Ada terjadi pembunuhan yang menewaskan dua orang warga, hal ini diindikasi merupakan ulah dari PT.SWA dan akhirnya warga pun menyerang PT.SWA.
2.      Konflik PT.Silva Inhutani dengan warga di Register 45 di kabupaten Mesuji, Lampung yang terjadi sejak 2009. Dalam kasus ini PT.Silva mendapatkan penambahan lahan Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini menjadi melebar hingga ke wilayah pemukiman warga sekitar. Hak Guna Usaha menjadi sumber konflik karena warga sudah tinggal bertahun-tahun diwilayah pemukiman diusir dan rumah masyarakat dirobohkan oleh pihak PT tersebut.
3.      Konflik antara PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga masyarakat di Register 45 Lampung terjadi pada 10 November 2011. PT BSMI ini letaknya dekat dengan PT. Silva Inhutani, pada kasus ini terjadi penembakan terhadap warga yang dilakukan oleh Brimob dan Marinir yang menewaskan 6 warga.

Melihat konflik agraria yang semakin meluas di Indonesia, pemerintah berupaya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Desakan untuk membentuk panitia khusus (pansus) untuk sejumlah kasus agraria mulai mengalir dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal tersebut ada sebagai akibat berbagai masalah pertanahan yang terjadi sepanjang tahun 2011. Pembentukan Pansus yang mengurusi konflik agraria diharapkan dapat mengetahui dan memetakan beragam persoalan terkait sengketa lahan yang terjadi diberbagai daerah. DPR RI menilai akar dari sengketa agraria ini adalah tanah ulayat dijadikan sebagai lahan bisnis, perizinan dan janji perusahaan menjadikan penduduk asli sebagai petani plasma.
Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana. Tim tersebut beranggotakan Ketua Komisi Nasional HAM, perwakilan dari kepolisian, Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah setempat, tokoh masyarakat setempat, dan perguruan tinggi. Sejak dibentuk pada tanggal 17 Desember 2011, TGPF menemukan lima temuan awal dalam tragedi Mesuji yaitu:
1.      Kejadian Mesuji terjadi pada tiga lokasi yaitu di Register 45, Desa Sri Tanjung (Mesuji-Lampung), dan Desa Sodong kecamatan Mesuji-Sumatera Selatan.
2.      Sengketa tersebut sudah terjadi dalam proses yang cukup lama, yang salah satu titik kejadiannya muncul dalam bentuk korban jiwa, korban luka dan beberapa kerugian materil di tiga lokasi tersebut.
3.      Utamanya pada dua tempat di Lampung, yaitu di Register 45 dan Sri Tanjung, jatuhnya korban jiwa perlu pendalaman lebih jauh dan tim akan berkoordinasi penuh dengan Kommnas HAM terkait persoalan HAM.
4.      Kelompok aktor yang ada di masing-masing wilayah, ada dari unsur masyarakat, perusahaan, pemerintah, serta aparat keamanan dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda.
5.      Jumlah korban jiwa yang meninggal akibat bentrokan di tiga lokasi tersebut untuk periode 2010-2011 adalah sembilan orang, masing-masing satu orang di register 45, satu orang di Sri Tanjung, dan tujuh orang di Sodong.
Ternyata apa yang menjadi temuan dari TPGF ini bagi banyak kalangan peneliti atas masalah ini tidak mengakar pada permasalahan dan tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang terjadi.
Begitu banyak temuan-temuan dari penanganan kasus mesuji ini terlihat bahwa konflik tersebut terdiri dari konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan ataupun pengusahaan hutan. Umumnya akibat ketidakjelasan status tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat dalam kacamata hukum agraria nasional; konflik lahan yang berkaitan perambahan oleh masyarakat lokal ataupun pendatang; dan konflik lahan berkaitan dengan lingkungan hidup, berkaitan dengan penambangan yang dapat mematikan sumber air untuk kehidupan sehari-hari dan pertanian.

Pelanggaran HAM
            Jelas terlihat bagaimana aparat keamanan terlibat dalam konflik agraria yang terjadi di Mesuji, aparat yang tidak memihak rakyat dan tidak melindungi tapi justru melakukan tindakan pembunuhan hingga menewaskan masyarakat. Terlibatnya aparat dalam konflik tersebut membuat asumsi bahwa penegak hukum di Indonesia sudah tidak sesuai dengan visi dan misinya,mereka cenderung menjadi pengikut para pemilik modal yang besar .
            Hukum yang diharapkan adil kepada seluruh masyarakat tidak lgi tercapai dan terlaksana, semua dikesampingkan demi memenuhi kas pribadi. Para pencari kebenaran pun berusaha untuk menutupi atau tidak menindaklanjuti kasus agraria ini. Penemuan bahwa aparat keamanan yang terlibat dalam kasus Mesuji ini menyalahi aturan yang ada, dimana aparat didanai oleh pihak perusahaan untuk penertiban kawasan hutan dan pengamanan perkebunan.
            Dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 mengenai kepolisian dimana fungsi dari aparat kepolisian adalah mengayomi dan melindungi masyarakat. Tetapi pada kenyataanya dalam menangani kasus agraria yang terjadi di Mesuji aparat lebih memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan, dan masyarakat pun menjadi korban dan sasaran para aparat kepolisian. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat merupakan tindakan yang tidak melihat hak azazi manusia.
            Kasus mesuji ini memperlihatkan bahwa para elit tidak mau lagi mendahulukan kepentingan umum, sehingga masyarakat kehilangan tempat bersandar. Pembunuhan dan pembantaian warga yang dilakukan merupakan tindakan yang sangat keji dengan tidak memperdulikan hak untuk hidup. Aparat bertindank dengan sewenang-wenangnya, hak azazi manusia dirampas begitu saja, melakukan kriminalisasi terhadap warga tanpa ada komunikasi yang jelas dalam menyelesaikan kasus agraria yang terjadi di Mesuji.

Refleksi Diri
            Tidak kunjung hentinya masalah menimpa bangsa Indonesia mulai dari kasus korupsi oleh pejabat yang merajalela, hukum yang tidak adil kepada rakyat dan selalu berpihak kepada para penguasa maupun elite, hingga masalah agraria yang muncul ke permukaan.
            Kondisi Indonesia yang saat ini banyak berkaitan dengan tragedi kemanusiaan yang berlawanan dengan dasar bangsa Indonesia,Pancasila dan UUD 1945. Begitu banyak permasalahan yang terjadi, apa yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa permasalahan yang berkaitan dengan kemanusiaan mulai muncul akhir-akhir ini baik kasus Papua, Bima, dan juga Mesuji Lampung dan SumSel.
            Pemilik modal dalam sebuah perusahaan adalah elit penguasa, pemerintah di suatu daerah adalah elit lokal. Penguasa dan pengusaha selalu menjalin konspirasi untuk mendapatkan keuntungan masing-masing. Dalam kasus mesuji ini pihak elit ini terlibat baik dalam izin penggunaan lahan, dimana penguasa memberikan izin kepada pengusaha pemilik modal besar karena duit. Kelalaian pemerintah sebagai elite yang memerintah dalam menangani kasus kekerasan dan pelanggaran HAM ini dinilai sangat lamban dalam mengantisipasi dan menanganinya.
            Munculnya sebuah teori elite karena sesorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan dari yang lain, memiliki kekuasaan yang sangat besar dan massa hanya menjadi domain of power  dari elite karena massa tidak memiliki kekuasaan. HAM, merupakakan ciri dari demokrasi. Ketika terjadi pelanggaran HAM maka demokrasi pun tidak akan berjalan dengan baik, hak dirampas oleh para elit yang memiliki keuasaan dan menggunakan kekuasaan untuk menundukkan massa dengan melakukan apa yang dikehendaki elit. Pemerintah lokal dan pengusaha dari perusahaan dalam kasus mesuji merupakan cerminan dari elit dalam studi demokrasi. Dimana pusat perhatian adalah pada tarik menarik kekuatan (konfigurasi), adanya proses negoisasi diantara elite, baik elit nasional dengan elit nasional, elit lokal dengan elit lokal dalam menentukan arah transisi politik.
            Aparat keamanan, baik polisi dan militer juga merupakan elit yang berkuasa. Elite yang berada di sebuah negara demokrasi yang belum jelas seperti Indonesia. Keterlibatan aparat dalam kasus mesuji membuat pelanggaran HAM yang luar biasa, dan ini bisa menimbulkan bentuk demokrasi yang oligarkis sehingga terbentuk sebut elit oligarkis juga. Dimana para aparat keamanan baik polisi dan militer merupakan aktor elite oligarkis, mereka menggunankan sumber kekuasaannya untuk menjalin aliansi dengan elit-elit lainnya, seperi aliansi elite politik dengan elite bisnis. Para elite ini menjalin hubungan tanpa melihat apa yang diinginakan oleh masyarakat sekitarnya, hubungan yang terjadi mendahului kepentingan sendiri tanpa melihat massa.  Para elite bisnis menggunakan sumber kekuasaanya yaitu ekonomi sebagai pemilik modal yang besar.
            Masyarakat hanya ingin keadilan, menuntut apa yang menjadi haknya, tetapi dengan mudah pemerintah mengabaikan semuanya itu. Perlakuan yang dialami pun selalu diwarnai dengan tindak kekerasan oleh pihak aparat,warga dengan mudah dilumpuhkan oleh para penguasa-penguasa melalui aparat. Kasus di Mesuji dan daerah lainnya yang memakan korban begitu banyak  merupakan pelajaran bagi para aparat dan juga pemerintah untuk serius menangani segala permasalahan yang melanda masyarakatnya, khususnya dalam menjunjung Hak Azazi Manusia jangan dihiraukan begitu saja, menegakkan keadilan bagi warga masyarakat.
            Berbagai kasus terjadi menunjukkan bagaimana kualitas pemerintah dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi oleh warganya sendiri. Negara tidak dapat menjamin hak-haknya dan tidak melindungi warganya yang sama sekali tidak berpihak pada para kapitalis. Rakyat selalu menjadi korban dari kepentingan-kepentingan penguasa dan pemilik modal, elit-elit penguasa selalu berjaya diatas penderitaan rakyat. Oleh karena itu pemerintah harus dapat menangani krisis-krisis yang dimiliki di tubuh para aparat keamanan.
            Selain itu belajar dari kasus mesuji mengenai konflik pertanahan (agraria) sebaiknya pemerintah dan pihak yang berwewenang dalam mengurus bidang pertanahan saling bekerjasama untuk memberikan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh rakyat. Pengaturan Undang-Undang Agraria yang selama ini belum ada perubahan yang memihak rakyat agar dirumuskan kembali. Pemerintah sebagai elit penguasa juga harus memiliki ketegasan untuk mengakui tanah hak ulayat dalam peraturan perundang-undangan tanpa syarat tertentu dengan melauan land-reform berupa retribusi tanah untuk petani gurem dan petani tanpa lahan dan membangun penambangan berwawasan lingkungan. Pemerintah juga harus mengeluarkan peraturan bagaimana sikap yang harus dilakukan aparat ketika terjadi sebuah masalah seperti ini, dengan tidak memihak kepada pengusaha asing. Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan TAP MPR No.XI/2001 tentang Reforma Agraria harus dilaksanakan secara konsisten. Otoritas Penanganan persoalan agrariapun harus diperjelas tidak tersebar di berbagai kementerian seperti yang terjadi saat ini di negeri ini sehingga rakyat pun dapat menikmati haknya sebagai topangan kehidupan mereka dalam memenihi kebutuhannya.

Daftar Bacaan:
Eko Prasetyo, Demokrasi Tidak Untuk Rakyat, Yogyakarta, Resist Book, 2005.
Ida Aju Pradnja, Kemana Harus Melangkah (Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan), Jakarta, YOI,2003.
Mochammad Tauchid, Masalah Agraria (sebagai masalah penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia), STPN Press, 2009
Majalah tempo
             
            

Desentralisasi Fiskal


POLITIK KEUANGAN DAERAH

Desentralisasi fiskal merupakan salah datu cara ataupun instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional (pusat). Desentralisasi fiskal memiliki tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal merintah pusat dan pemerintah daerah, mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah, menjamin fiscal sustainabily di daerah. Dalam mencapai tujuannya tersebut desentralisasi fiskal memiliki instrumen yaitu, Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi ( DAU dan DAK). Ketiga instrument dalam desentralisasi fiskal diharapkan mampu mengurangi ketimpangan fiskal yang terjadi, tetapi tidak seluruh dari instrumen tersebut mampu mengurangi ketimpangan fiskal yang terjadi dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi disetiap daerah.
Berikut akan saya uraikan instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal yang terjadi baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun ketimpangan fiskal antar daerah.
1.      Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalane) adalah Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi (DAU,DAK).
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. Setiap daerah pasti memiliki sumber PAD yang berbeda oleh karena itu pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerapkan jenis pajak yang disetiap daerah. Dari pengetian diatas maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memungut pajak daerahnya masing-masing dengan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan dengan persetujuan Pemerintah Pusat agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar pusat dan daerah. Dengan kata lain instrument desentralisasi fiscal dalam hal pajak daerah mampu mengurangi vertical fiscal imbalance (ketimpangan fiscal vertical)
Dana Bagi Hasil mampu mengurangi vertical fiscal imbalance hal ini dapat dilihat bahwa bagi hasil merupakan pemberian sebagian pendapatan nasional dari suatu sumber tertentu kepada daerah dimana pendapatan itu diperoleh. Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.
Begitu juga dengan Subsidi (DAU,DAK) dapat mengurangi ketimpangan fiscal vertical karena akan memberikan pemertaan kepada setiap daerah dari pemberian DAU dan DAK. Setiap daerah yang belum mampu memenuhi kebutuhannya makan pemerintah pusat akan memberikan Dana alokasi tersebut.
Sebagai contoh, hampir seluruh daerah yang ada di Indonesia diberikan kewenangan oleh pusat dalam mengurusi keuangan daerahnya, baik dalam pajak daerah, bagi hasil dan subsidi agar ketimpangan fiskal antar pusat dan daerah tidak terjadi begitu besar.
2.      Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal horizontal (horizontal fiscal imbalane) adalah Subsidi (DAU,DAK).
Pajak Daerah tidak mampu mengurangi ketimpangan fiscal antar daerah karena kemampuan setiap daerah berbeda dalam sumber Pendapatan Asli daerah yang berbeda, ketika suatu daerah memiliki PAD rendah yang diakibatkan pemekaran dan provinsi memberikan jenis pajak yang sama dalam setiap daerah maka daerah tersebut belum tentu mampu mengumpulkan uang yang sama besarnya. Sehingga hal ini akan menyebabkan ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal fiscal imbalance).
Bagi hasil akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Oleh karena itu instrument desentralisasi fiscal ini tidak dapat mengurangi horizontal fiscal imbalance tetapi akan menimbulkan ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal fiscal imbalance) karena yang paling memperoleh alokasi yang besar adalah daerah penghasil dan akan terlihat disporitas yang sangat tinggi dalam komponen bagi hasil.
Subsidi (DAU,DAK) mampu memperbaiki ketimpangan fiscal horizontal (ketimpangan fiscal antar daerah) karena instrument desentralisasi fiscal ini mampu mendorong suatu daerah untuk berbuat sesuatu melalui insentif. Subsidi mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dana Alokasi Umum memiliki tujuan yaitu pengurangan kesenjangan fiscal antar daerah, dimana konsep kesenjangan fiscal untuk mengalokasi DAU sudah tepat karena telah memperhitungkan dua aspek yaitu kebutuhan dan kemampuan fiscal pemerintah daerah. DAu diberikan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, oleh karena itu jika dalam suatu darah provinsi ada kabupaten atau kota yang belum mampu memenuhi kebutuhannya maka pemerintah provinsi akan memberikan DAU kepada kabupaten atau kota tersebut. Pemberia DAU ini sesuai dengan prinsip pemberian subsidi yaitu berdasarkan rumusan fiscal gap. Fiscal gap merupakan ketidakmampuan suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya, dengan kata lain jika fiscal gap suatu daerah besar maka subsidi yang diberikan akan besar pula dan sebaliknya.
DAK tidak dialokasikan kepada semua daerah tetapi hanya kepada daerah tertentu yang mempunyai kondisi khusus. Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/ prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional.[1] Pemaparan diatas mengenai DAK dapat diartikan bahwa jika suatu daerah dalam provinsi belum memilik dana dalam mengelola hutan khususnya makan pemerintah pusat akan memberikan DAK tersebut kepada provinsi, dan sebaliknya pemerintah daerah memberikan DAK kepada kabupaten atau kota tertentu. Oleh karena itu DAK dalam hal ini dapat mengurangi ketimpangan fiscal antar pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) serta ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal fiscal imbalance). Pemaparan diatas dapat menyimpulkan bahwa instrument desentralisasi fiskal yang dapat mengurangi ketimpangan fiscal horizontal adalah hanya subsidi (DAU dan DAK). Sebagai contoh daerah seperti papua, aceh yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan daerah melalui pendapatan daerah tersebut, sehingga pemerintah daerah provinsi memberikan dana alokasi khusus agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar daerah di daerah tersebut.


[1]  Undan-Undang No 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan