Powered By Blogger

11 Maret 2012

DAILY POLITICS

DAILY POLITICS ;
HOW AN INFORMAL LEADER SURVIVE?
(STUDI MENGENAI MBAH MAHMUDI, INFORMAL LEADER DI SLEMAN, YOGYAKARTA)

Belakangan ini politik mengalami reduksi makna. Politik seringkali dimaknai menjadi hanya sekadar urusan para politisi, anggota partai dan anggota DPR yang berebut kekuasaan, padahal dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak bisa terlepas dari politik, baik secara sadar ataupun tidak. Bahkan orang yang mendeklarasikan diri tidak berpolitik, sebenarnya dia sedang berpolitik. Lasswell mendeskripsikan politik sebagai “who gets what, when, how[1] , atau masalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Sehingga sebenarnya setiap orang secara sadar atau tidak sedang berpolitik, terlepas dari besar kecilnya sumberdaya (what) yang dibutuhkan seseorang untuk terus bertahan hidup (survive). Hal ini berarti politik melekat dalam kehidupan sehari-hari manusia, sampai seumur hidupnya.
Setiap orang memiliki cara tersendiri (how) untuk survive dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat survival ini tergantung dari seberapa banyak resources yang bisa diambil untuk kepentingan masing-masing. Semakin banyak resources yang didapatkan, semakin besar pula kekuasaan yang dimiliki. Cara berpolitik dalam kehidupan sehari-hari seseorang inilah yang sangat menarik untuk diamati.  Dalam upayanya untuk memiliki kekuasaan atas sumber daya inilah, mengharuskan seseorang untuk selalu menjalin relasi, baik relasi dengan masyarakat, negara maupun diantara sesamanya.
Tulisan ini hendak mengangkat salah satu potret politik dalam kehidupan sehari-hari, yaitu politik seorang informal leader, mbah mahmudi untuk survive. Mbah mahmudi merupakan mantan preman yang sudah bertaubat dan menjadi pemuka agama (kyai) di desa. Sejarah personal masa lalu dan citra diri sebagai “preman kyai” yang melekat di masyarakat menjadikan mbah mahmudi diperankan sebagai informal leader oleh masyarakat desa setempat ataupun preman-preman di daerah Sleman, Bantul dan kota Yogyakarta. Informal leader merupakan salah satu aktor intermediary yang berada diantara ranah masyarakat dan negara serta memiliki peran dalam menghubungkan kedua entitas tersebut. Kajian mengenai survivalitas informal leader ini menjadi suatu kajian yang menarik dan relevan dalam kajian politik intermediary. 
Membangun Mitos, Menuai Popularitas
Politik seringkali dimaknai sebagai kekuasaan[2]. Yaitu seni perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain, ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan. Dalam kehidupan modern ini, kekuasaan pada dasarnya jamak. Kekuasaan berasal dari banyak berasal dari banyak sumber. Sumber-sumber kekuasaan tersebut antara lain sumber ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Sehingga dalam kehidupan ada kekuasaan ekonomi, kekuasaan sosial, kekuasaan budaya maupun kekuasaan politik. Dalam masyarakat, kekuasaan tidak pernah terdistribusi secara merata. Selalu saja ada orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan lebih besar dari yang lainnya dalam bidang-bidang tertentu. Kekuasaan yang lebih besar ini muncul karena kemampuan atau performa yang lebih dari seseorang dalam satu atau beberapa bidang kehidupan yang membuat orang lebih baik dari orang lain.[3]
Distribusi kekuasaan dalam masyarakat yang tidak merata memunculkan dua kelompok dalam masyarakat.  Orang atau sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan penting yang disebut elit dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan disebut massa. Secara internal, elite ini memiliki sifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok (memiliki latar belakang yang mirip, memiliki nilai-nilai kesetiaan dan kepentingan bersama). Elite mengatur sendiri kelangsungan hidup dan keanggotaannya sehingga hanya berasal dari satu lapisan masyarakat yang sangat terbatas (eksklusif). Elite ini pada dasarnya otonom, kebal akan gugatan dari siapapun di luar kelompoknya[4].
Dalam masyarakat yang relatif kecil dan homogen (homogenous-geimenschaft), ada kecenderungan elit berbentuk tunggal dan memiliki pengaruh dan kekuasaan di seluruh cabang kehidupan seperti ekonomi, politik dan kultural. Sedangkan dalam masyarakat yang kompleks, dan heterogen (heterogenous-geselschaft) ada kecenderungan elit yang banyak ragamnya. Di setiap cabang-cabang kehidupan yang penting (ekonomi, sosial, politik), akan muncul sekelompok orang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada yang lain. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang ekonomi, dinyatakan sebagai elit di bidang ekonomi. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang politik dinyatakan sebagai elit di bidang politik. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam lebih dari satu bidang kehidupan. Dimungkinkan juga yang bersangkutan selain menjadi elit di bidang ekonomi menjadi elit di bidang politik[5].
Mengenai elit local dalam konteks saat ini, dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia, Migdal berteori bahwa elit lokal muncul disebabkan refleksi kekuatan masyarakatnya yang plural dan ditambah dengan kelemahan negara. Setiap kelompok dalam masyarakat memiliki pemimpinnya sendiri dan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara.  Sifatnya yang otonom menyebabkan keberlangsungan hidup elite lokal bergantung pada kapasitas sosial dari negara. Kapasitas sosial dapat diartikan kemampuan negara untuk membuat warganya mematuhi aturan permainan dalam masyarakat. Kemampuan menyediakan sumber daya guna keberlangsungan hidup warganya atau mengatur perilaku dan kehidupan masyarakat dalam keseharian.
Individu maupun kelompok dapat memobilisasi sesuatu untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, sehingga mampu mempengaruhi masyarakat sekelilingnya untuk mendapatkan sebuah pengakuan ataupun legitimasi. Adanya upaya mempertahankan kekuasaan tersebut individu maupun kelompok tersebut akan membuat masyarakat mengikuti apa yang dikatakan oleh individu dan apapun yang dilakukan adalah sebuah legitimasi. Menjaga kekuasaan membutuhkan sumber daya (resources) baik sumber daya sosial, politik dan ekonomi karena hal ini sangat berkorelasi terhadap terkonsentrasinya sebuah kekuasaan.
Pemimpin dalam kelompok masyarakat tidak harus menduduki jabatan tertentu. Dalam masyarakat seringkali mengangkat orang yang dianggap memiliki kelebihan sebagai pemimpin mereka. Inilah yang disebut dengan pemimpin informal (informal leader). Pemimpin informal memperoleh kekuasaan / wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis. Tidak ada ukuran obyektif tentang bagaimana seorang pemimpin informal dijadikan pemimpin. Dasarnya hanyalah oleh karaena dia pernah benar dalam hal tertentu, maka besar kemungkinan dia akan benar pula dalam hal tersebut pada kesempatan lain. Di samping penentuan keberhasilan pada masa lalu, pemilihan pemimpin informal juga ditentukan oleh perasaan simpati dan antipati seseorang atau kelompok terhadapnya. Seseorang yang memiliki sifat dan pembawaan yang membuat orang menyukainya, akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemimpin informal dibandingkan orang lain yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Pendapat-pendapat dan saran-sarannya pun akan lebih mudah diterima apabila dia memiliki sifat mudah disukai. Oleh karena itu seseorang yang mempunyai kecakapan dan pengertian terhadap kehidupan sosial serta memiliki kepribadian yang dapat memberikan popularitas sosial kepadanya, mempunyai kesempatan yang paling besar untuk menjadi seorang pemimpin informal.
Mbah Mahmudi memiliki kekuasaan dengan ketokohan sebagai Kyai (basis agama) dan ketokohan sebagai (mantan) preman yang identik dengan kekerasan (basis sosial). Kekuasaan inilah yang mengantarkannya memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai pemimpin informal. Ketokohan sebagai kyai dibentuk oleh masyarakat Desa Selomartani yang menganggap bahwa beliau juga merupakan “kyai” yang juga penerus ayahnya yang merupakan kyai, penyebar agama Islam pertama di desa selomartani (yang sebelumnya mayoritas penduduk beragama hindu). Keluarga mbah mahmudi juga dianggap oleh masyarakat desa sekitar masih keturunan dari keraton kasultanan Yogyakarta. Kuasa Mbah Mudi sebagai kyai ini muncul pada pertengahan tahun 1980-an setelah Mbah Mahmudi keluar dari penjara dan “bertaubat”, kemudian ia meneruskan dakwah ayahnya yang juga seorang kyai. Mbah mahmudi ini kemudian dinikahkan dengan perempuan lulusan pesantren Salaf dari daerah Jawa Timur yang juga merupakan anak Kyai. (yang kata Mbah Mahmudi tidak paham tentang dunia, yang ada di istrinya hanya urusan akhirat).
Kuasa sebagai kyai ini dikuatkan dengan adanya masjid di dekat rumah mbah mahmudi, yang merupakan satu-satunya masjid di dusun tersebut. Kuasa sebagai kyai ini juga dirawat dengan rutinitas ibadah sholat 5 waktu di masjid dengan mbah mahmudi sebagai imamnya. Adanya pengajian rutin setiap selasa kliwon dan pengajian akbar setiap perayaan hari besar umat Islam yang dihadiri oleh masyarakat desa sekitar dan teman-teman mbah mahmudi dari pesantren ataupun preman yang berjumlah sekitar 3000 orang. Pengajian ini diasuh sendiri oleh Mbah Mahmudi dan istrinya yang merupakan qori quran yang berasal dari pesantren salaf di daerah Jawa Timur. Kuasa ini disambut oleh masyarakat (mendapatkan legitimasi masyarakat) dengan menjadikan Mbah Mahmudi sebagai rujukan ketika masyarakat mengalami masalah. Oleh mbah mahmudi, masalah ini diberikan solusi yang “relijius” dengan bacaan ayat suci Al- Quran, doa-doa serta amalan-amalan. Kuasa sebagai kyai Mbah Mahmudi juga mendapat pengakuan dari masyarakat dengan berdatangannya beberapa orang dari luar desa yang belajar ilmu kekuatan ghaib dan ilmu kebal senjata.
Berikutnya ketokohan sebagai preman. Ketokohan sebagai preman ini muncul dari citra yang dibentuk preman-preman yang ada di daerah Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten  Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Kuasa Mbah Mahmudi sebagai preman berawal ketika beliau dipenjara pada pertengahan tahun 1970an dikarenakan kasus uang palsu. Kiprah Mbah Mahmudi di penjaralah yang membangun kuasa dia sebagai preman yang hebat dan diakui kehebatannya. Pada saat itu oleh sesama narapidana di LP Wirogunan, Mbah Mahmudi dianggap sebagai preman “sakti” dengan kemampuannya menghilang dari penjara (kabarnya pulang ke rumahnya) ketika awal malam hari dan kembali lagi ke penjara saat pagi harinya. Mbah Mahmudi diakui memiliki kesaktian yang tidak dimiliki oleh preman-preman lain. Hal ini juga dikuatkan pada saat pemotongan rambut penghuni LP, dimana rambut Mbah Mahmudi tidak dapat dipotong oleh petugas. Hal ini membuat Mbah Mahmudi “diajeni” dan digolongkan sebagai narapidana dengan kemampuan luar biasa dan mendapat pengakuan dari orang-orang yang saat itu dipenjara dimana mayoritas adalah preman, dimana didalamnya termasuk preman-preman senior. Di dalam penjara itulah Mbah Mahmudi membangun relasi dengan preman-preman senior yang terorganisir dan mengidentikkan dirinya sebagai golongan preman yang tidak segan segan melakukan kekerasan.
Mbah Mahmudi sendiri dikenal tidak mempan apabila disakiti (memiliki ilmu kebal). Preman-preman senior yang saat itu dipenjara menjalin hubungan baik dengan mbah mahmudi, sampai keluar dari penjara, hubungan itu masih dijalankan dalam bentuk pertemanan. Seiring waktu, Mbah Mahmudi sering dimintai tolong kerjasama dalam mengupgrade anggota-anggota kelompok preman yang diketuai  preman senior kenalan mbah mahmudi dengan mengajarkan ilmu keberanian dan kebal senjata. Selain itu, mbah mudi juga diajak kerjasama dalam berbagai bisnis “hitam”. Relasi yang luas mbah mahmudi dengan preman-preman senior menimbulkan citra preman sakti melekat di mbah mahmudi. Apabila ada permasalahan dengan orang lain, mbah mahmudi tinggal minta bantuan preman-preman senior, maka anak-anak buah preman senior yang akan turun ke lapangan untuk menyelesaikan permasalahan. Ketika preman-preman senior mendirikan klub pengamanan eksklusif pun, mbah mahmudi “dilamar” untuk menjadi salah satu ketua kata-katanya diikuti oleh anggota klub. Klub pengaman ini berjumlah 50 orang anggota tetap yang terdiri dari para preman yang sudah memiliki nama, para juara tarung derajat, anggota TNI, Polisi, PM yang berjumlah tujuh orang serta merekrut  volunteer jika ada even yang membutuhkan tenaga pengamana ekstra. Reputasi mbah mahmudi sebagai preman senior ini diakui oleh preman-preman di Kab.Bantul, Kab, Kulon Progo, Kab.Sleman, dan Kota Yogyakarta. Bahkan kepolisian dan tentara juga menggolongkan Mbah Mahmudi sebagai preman yang identik dengan kekerasan, meskipun saat ini berperan sebagai kyai dalam masyarakat Desa Selomartani. 
Berdasarkan fenomena diatas sangat tepat dengan apa yang dikatakan oleh Migdal mengenai elit, dimana elit muncul dikarenakan pluralitas masyarakat dan negara lemah. Munculnya beberapa elit lokal karena pluralisme suatu masyarakat  membuat adanya persaingan diantara elit lokal, sehingga muncul statement siapa yang kuat dia yang menang karena elite yang berhasil adalah elite yang berelasi dengan negara dan partai pemerintah. Relasi yang dibangun oleh elit lokal merupakan sebuah bentuk pertahanan (survive) dalam mempertahankan kekuasaannya. Mbah mahmudi sebagai elit lokal mampu mempertahankan kekuasaannya dengan peran yang dimilikinya saat ini dengan relasi yang sangat luas baik masyarakat maupun dengan negara.
Skema Survival Mbah Mahmudi
Oval: AKTOR ELEKTORAL B
Oval: AKTOR ELECTORAL A
Rounded Rectangle: SECURITY Rounded Rectangle: VOTEGATER
 
















Politik Survival
Teori politik klasik Darwin menyatakan bahwa manusia yang kuat adalah manusia yang survive. Berangkat dari hal ini, maka setiap individu harus mencari resources sebanyak-banyaknya untuk survive. Setiap orang mempunyai cara untuk survive, cara-cara ini menarik untuk diamati.
Midgal berpendapat bahwa elite lokal yang dapat bertahan adalah elite lokal yang berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah, sehingga terbentuklah segitiga kekuasaan. Segitiga kekuasaan ini mengizinkan sumber daya negara untuk memperkuat diri elite dan mempersilakan organisasinya mengatur konflik dalam negara. Keberlangsungan dan eksistensinya bergantung pada kekuatan negara untuk mengatur mereka. Para elite juga mampu menemukan pemimpin yang populis untuk mengakomodasikan kepentingan dan organisasi mereka melalui massa yang ada.
Dalam survivalnya, Mbah Mudi juga berusaha mempertahankan diri dengan mengakses banyak resources, termasuk bekerja sama dengan negara dan berusaha memperoleh sebanyak banyaknya sumber daya melalui even-even politik seperti pemilu dan pemilukada.

Survive dengan relasi kemasyarakatan
Mbah mahmudi menganggap masyarakat Desa Selomartani sebagai objek dakwah yang harus diberikan pemahaman mengenai agama dan juga hidup di dunia. Masyarakat harus mandiri dan tidak “diakali” oleh siapapun. Mbah mahmudi sering memberikan ceramah kepada masyarakat di masjidnya dengan pengajian rutin. Selain itu Mbah Mahmudi juga gemar mengobrol dan bercerita dengan masyarakat desa selomartani apabila beliau sedang keluar rumah. Obrolan beliau mengenai kehidupan di sekitar dan prinsip-prinsip sederhana yang digunakan dalam kehidupan, seperti “ lebih baik makan singkong tapi nyata daripada membayangkan makan sate”.
Masyarakat pun menganggap Mbah Mahmudi sebagai kyai yang memiliki koneksi luas, karena seringnya masyarakat melihat tamu di rumah mbah mahmudi yang merupakan anggota DPR, pejabat pemerintahan Pemda Sleman, orang-orang terkenal seperti daerah seperti pak Kamto, Pak Sri Purnomo, dan lain-lain. Jika memiliki masalah yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan prosedur birokrasi sampai kabupaten, masyarakat minta tolong kepada Mbah Mahmudi, yang dianggap memiliki koneksi dengan orang-orang besar di pemda. Sebagai contoh, sebuah cerita dari salah seorang narasumber warga sekitar yang menceritakan bagaimana kecelakaan yang menimpa warga dusun Kledokan, Selomartani, karena tidak punya biaya untuk perawatan opname di rumah sakit, keluarga meminta tolong Mbah Mahmudi untuk membantu menguruskan asuransi jasa raharja, yang sebelumnya diurus keluarga yang bersangkutan mengalami prosedur yang berbelit-belit, dengan bantuan mbah mahmudi, lewat telepon dengan salah seorang pejabat di pemda sleman, jasa raharja dapat segera terurus dan turun dananya. Selain itu apabila masyarakat mengalami kesulitan dalam anaknya belajar menghadapi ujian misalnya, sang orang tua datang ke Mbah Mahmudi. Dengan saran dari Mbah Mahmudi dan bacaan-bacaan yang harus diamalkan, sang anakpun berhasil dalam ujiannya. Semua pertolongan mbah mahmudi tidak mengutip biaya. 
Dalam masyarakat desa, kesan Mbah Mahmudi sebagai preman sudah tertutupi dengan kesan kyai yang memiliki teman-teman preman, yang teman-temannya siap membantu apabila Mbah Mahmudi ada permasalahan. Mbah mahmudi sangat jarang keluar dari kompleks rumah, dan musholla,  justru masyarakat yang membutuhkan beliaulah yang “sowan” ketika mereka ada masalah. Masyarakat menganggap mbah mahmudi sebagai kyai mantan preman yang penolong apabila masyarakat ada permasalahan, dan mbah mahmudi menganggap masyarakat sebagai umat  dan perlu ditolong tanpa memungut biaya.
            Fenomena yang terjadi tersebut membuat Mbah Mahmudi mendapat legitimasi dari masyarakat dengan membantu masyarakat yang memerlukan bantuan dengan sukarela dan tidak dipungut biaya sedikit pun. Oleh karna itu masyarakat sagat mempercayai apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Mbah Mahmudi kepada masyarakat sekittar tempat tinggalnya.

Survive dengan Relasi antar sesama Informal Leader
Mbah mahmudi menganggap tokoh masyarakat lain di desa seperti pak RT, Kepala Dusun dan ibu kepala desa sebagai pamong desa yang seharusnya melayani masyarakat desa. Elit-elit desa yang terkesan baik hati di masyarakat, dihargai Mbah Mahmudi sebagai teman dan berkoalisi ketika ada acara di masyarakat. Tetapi dengan elit desa dan tokoh masyarakat yang terkenal “jahat” terhadap warga, seperti pak dukuh selokerten yang sering mengejek warga kurang mampu, beliaupun memihak pada warga, tanpa menyakiti yang bersangkutan, kecuali kalau ada tindakan yang bersangkutan menyakiti warga, anak buah mbah mahmudi pun siap bertindak.
Elit-elit desa dan tokoh masyarakat juga menganggap Mbah Mudi sebagai orang yang baik meskipun berpotensi menggunakan kekerasan. Tetapi tokoh masyarakat yang dibenci mbah Mahmudi karena kelakukannya pada warga, sering mengatakan mbah mudi sebagai kyai gendeng yang banyak berbicara. Dengan preman-preman di wilayah yogyakarta, mbah mudi membuat koalisi dengan mereka. Reputasi mbah mudi sebagai preman senior sudah diakui oleh jagat prepremanan. Kalau ada permasalahan dengan preman lain, mbah mahmudi mengutus anak buahnya. Apabila anak buahnya tidak bisa menangani, baru mbah mahmudi turun tangan sendiri dan permasalahan menjadi bisa dibicarakan dan selesai karena reputasi mbah mudi sebagai preman senior.kelompok-kelompok yang diketuai oleh preman senior lainpun sering berkunjung ke mbah mudi untuk bekerjasama dalam upgrading anak buah melalui ilmu kebal ataupun tawaran bisnis “gelap”. 
Relasi yang dibangun oleh Mbah Mahmudi dengan sesama Informal Leader yang ada didarah tempat tinggalnya sangat baik. Hal ini membuat relasi yang dimiliki relatif memiliki posisi yang aman ketika dalam relasi tersebut tidak memiliki saingan yang terlalu berat sebagai Informal Leader.

Survive dengan berelasi terhadap negara
Mbah mahmudi menggunakan koneksi di pejabat untuk memuluskan kepentingannya apabila berhubungan dengan birokrasi, termasuk dalam hal menolong orang. Beliau konsen di penyediaan jasa keamanan yang “eksklusif”.  Para pejabat mengenal mbah mahmudi sebagai tokoh yang diandalkan dalam pengamanan, di luar TNI/Polri.
Pemilukada Sleman merupakan even yang membuat nama Mbah Mudi muncul dengan peran sebagai security dan votegater. Pada even tersebut, Mbah Mahmudi berperan sebagai votegater sebagai tim pemenangan Kamto, dimana Mbah Mahmudi tidak secara langsung mendukung  dengan menggunakan namanya. Mbah Mahmudi menggunakan tangan orang lain untuk menjadi votegetter pasangan calon bupati lainnya dalam hal ini Mbah Mudi dapat disebut sebagai “broker politik”. Peran security yang ia miliki merupakan sebuah reputasi yang telah dikenal oleh orang banyak khusunya masayarakat Sleman dimana Mbah Mahmudi memliki kekuatan pengamanan yang sangat kuat, dengan adanya mitos “Kalau ada Mbah Mudi even apapun akan aman”. Adanya mitos tersebut membuat pasangan caon Sri Purnomo untuk menggunakan Mbah Mahmudi sebagai pengaman dalam kegiatan-kegiatan kampanyenya.
Ketika hasil Pemilukada keluar dan menyatakan bahwa pasangan Sri Purnomo menang sebagai Bupati Sleman, maka Sri Purnomo memberikan semacam ucapan terimakasih kepada Mbah Mahmudi karena telah mengamankan kampanye. Selain itu Sri Purnomo menawarkan apa yang sebenarnya yang menjadi keinginan dari masyarakat melalui Mbah Mahmudi yang akan dijadikan sebagai program dari pemerintah.
Dalam even even pemilu, beliau tidak memiliki orientasi politik yang tetap. Kadang PPP, kadang PKB, kadang PDIP, tergantung partai mana yang menggunakan jasanya untuk votegetter dan training satgas. Kalau pemilu nasional cuma cari duitnya, tapi kalau pemilukada, sediakan jasa keamanan satu pasangan calon (yang calon harus ke dia, karena dia dianggap menguasai preman bagian Sleman Timur). Dan dengan tangan orang lain main sebagai votegetter untuk calon yang berbeda.
Mbah Mahmudi di desa tidak begitu banyak bermain, karena ewuh pakewuh sama kepala desa yang notabene juga memiliki dukungan kuat pengusaha (kakaknya kepala desa sekarang, bu Nurhayati, kakaknya (pak Giyanto) adalah kontraktor yang dikenal dekat dengan pak Sri Purnomo, bupati dan memiliki banyak akses untuk proyek-proyek pembangunan di Sleman Timur. Jadi mbah mudi merasa kurang kuat kalau bersaing untuk bermain di level kelurahan. Mbah mahmudi lebih bermain di level luar kelurahan, terutama di bisnis keamanan, dan usaha sehari-hari yang “kerjasama” serta manfaatkan even-even politk yang memiliki banyak dana seperti pemilu legislatif, pemilukada, dan pilkades untuk mendapat keuntungan yang sebesar besarnya dengan mendukung salah satu calon.
Dari fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa Mbah Mahmudi mendapatkan keuntungan dari resources yang ia miliki baik dari sisi security dan votegater. Sehingga masyarakat menganggp Mbah Mahmudi sebagai jembatan komunikasi masyarakat terhadap para pejabat daerah.

Penutup
            Mbah Mahmudi sebagai aktor intermediary memiliki relasi yang sangat baik terhadap masyarakat, sesama informal leader yang ada didaerahnya dan terhadap elite-elite politik. Mbah Mahmudi membangun relasi-relasi tersebut dengan figur dan ketokohan yang ia miliki selama ini, figur yang ia miliki sebelumya adalah preman  dan pada akhirnya berubah menjadi figur kyai membuatnya memiliki legitimasi yang sangat besar dari masyrakat dan kalangan elite lainnya.
            Peran aktor intermediary yang ia miliki mampu dijaga dan dipertahankannya dengan image yang telah lama diakui oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya dan juga oleh para elite-elite politik. Komunikasi yang ia bangun dan dijalani begitu sangat dijaga oleh Mbah Mahmudi baik terhadap warga maupun kelompok atas lainnya untuk mempertahankan legitimasi yang selama ini ia peroleh.



[1] Harold Laswell. 1972. Politics: Who gets what, when,how. New York: The world Publication Comp.
[2] Wiliam Robson. 1954. The University Teaching of Social Science: Political Science. Paris:UNESCO. Hlm.17-18
[3] Haryanto, Kekuasaan elit, Suatu bahasan pengantar, Program Pasca sarjana PLOD, UGM bekerjasama dengan jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, Tahun 2005, hal 66
[4] Modul teori politik, program studi politik lokal dan otonomi daerah, 2005
[5] Ibid