Powered By Blogger

10 Juli 2012

Masyarakat Miskin Kota


Kemiskinan Struktural di Masyarakat Miskin Kota:
Masalah dan Agenda Strategis

Kemiskinan tampaknya menjadi masalah yang sangat krusial saat ini. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya pelonjakan angka pengangguran yang juga menjadi akibat terjadinya pelonjakan angka kemiskinan. Kemiskinaan tidak hanya terjadi didaerah pedesaan tetapi saat ini justru lebih mengarah ke daerah perkotaan. Kemiskinan di  perkotaan, persoalannya lebih kompleks disbanding dengan yang ada dipedesaan. Masyarakat desa masih mungkin mengandalkan sebagian sumbangan panganna berasal dari alam ataupun tetangga sekitar, tetapi bagi masyarakat kota cenderung kurang dalam hal ini dikarenakan jaringan pengaman sosial tidak sekuat di pedesaan. Selain itu persoalan kemiskinan di perkotaan juga semakin krusial ditangani terutama karena ekses sosialnya yang luas, seperti meningkatnya kriminalitas di perkotaan, meningkatnya jumlah anak jalanan, konflik sosial, penjarahan dan berbagai bentuk persoalan sosial lain.
Daerah-daerah besar yang mengalami permasalahan kemiskinan perkotaan sangat banyak seperti Jakarta, Malang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Denpasar, Mataram, dan Palu. Setiap daerah melakukan kajian terhadapa permasalah kemiskinan di daerahnya, dengan melihat mengapa kemiskinan itu terjadi dan sampai saat ini belum terselesaikan serta bagaimana visi kedepan untuk menanggulangi kemiskinan struktural yang terjadi didaerahnya masing-masing. Dalam buku yang membahas bagaimana hasi dari kajian di daerah tersebut pada dasarnya memiliki persamaan terhadap akar dari kemiskinan dan bagaimana visis kedepan untuk meminimalisir kemiskinan yang ada dengan merumuskan kebijakan yang berorientasi kepada rakyat miskin kota dan mengikutsertakan rakyat dalam pengambilan keputusan yang ada.
Faktor-faktor kemiskinan dalam arti tidak terpenuhinya kebutuhan dasar atau ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang serta biaya lainnya secara layak yang dipengaruhi oleh aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Selain itu factor lain yang menyebabkan kemiskinan structural diperkotaan juga terkait dengan tiga aspek yaitu kelembagaan, regulasi/kebijakan ekonomi pada orde baru dan masalah transparansi serta “good governance”. Berbagai daerah kota yang mengalami permasalah kemiskinan perkotaan menyataan bahwa regulasi atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pada masa orde baru sangat berdampak signifikan terhadapa masyarakat samapai saat sekarang ini. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan hanya memihak pada satu golongan saja yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan mengakibatkan kesengasaraan dan menindas rakyat miskin serta kebijakan tersebut dinilai tidak berhasil dilakukan. Gambaran lain yang menunjukkan kemiskinan kota antara alain adanya dinamika pergulatan konflik yang mewarnai perkotaan menunjukkan kecenderungan negative mulai dari konflik pertanahan yang diselesaikan dengan kekerasan, kriminalitas dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak persoalan yang berkaitan dengan kemiskinan perkotaan selain tidak tercukupinya pemenuhan kebutuhan dasar yaitu pemenuhan kebutuhan afeksi sebuah kebutuhan yang berhubungan dengan perasaan dan emosi, persoalan identitas yang menjadi persoalan yang fundamental dengan adanya pengakuan sebagai warga kota serta tidak adanya ruang untuk melakukan partisipasi politik untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.
Pilihan bentuk kota yang demikian tentu membawa impilkasi yaitu terdapatnya dimensi yang menyertai kemiskinan kota. Dimensi kemiskinan majemuk yang dialami masyarakat miskin perkotaan dapat diidentifikasi dari beberapa aspek yaitu: Rendahnya kesejahteraan, rendahnya akses pada sumber daya, rendahnya kesadaran kritis, rendahnya partisipasi, rendahnya daya atu posisi tawar. Berbagai daerah  dengan pengalaman kemiskinan masyarakat miskin kota terdapat beberapa kelompok rentan di perkotaan yaitu tukang becak, pedagang kaki lima/kecil (gerobak,bakulan) asongan, pengamen, pemulung pengemis, gelandangan, anak jalanan, asongan, petani kota, nelayan kota, tukang ojek, tukang parker, difable dan pekerja seks komersial. Kemiskinan dalam arti tidak terpenuhinya kebutuhan dasar atau asasi manusia tidak bisa lepas dari banyak factor yang berpengaruh dalam suatu tempat. Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan di perkotaan, factor yang lain seperti sosial budaya, politik memiliki peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan. Aspek politik yang menyebabkan kemiskinan yaitu: tidak ada budaya demokrasi yang mengakar, tidak berdayanya mekanisme dan system perwakilan politik mengahadapi kepentingan modal, tidak ada control langsung dari rakyat terhadap birokrasi, keputusan-keputusan politik yang sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik luar negeri. Aspek ekonomi yang mengakibatkan munculnya kemiskinan yaitu: kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi, rendahnya akses terhadap factor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan, spekulasi mata uang. Aspek sosial budaya yang mengakibatkan kemiskinan yaitu: hancurnya identitas sosio cultural yang hidup di masyarakat, hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial, marginalisasi mayoritas rakyat.
Mengingat adanya kompleksitas persoalan kemiskinan di wilayah perkotaan menuntut adanya pemetaan secara kritis kendala yang dihadapi dalam upaya pengentasan kemiskinan structural diperkotaan. Adapun kendala itu terjadi diseluruh lapisan masyarakat, yaitu: kelemahan dari dalam diri rakyat miskin sendiri; kelemahan lain adalah datangnya dari NGO, yang dalam proses advokasi dan program pendampingannya menggunakan asumsi masyarakat miskin kota dalam keadaan lemah; munculnya kembali era multi parti ternyata belum member jaminan bergantinya system birorasi: kalangan intelektual yang berada di kampus baik itu staf edukasi dan mahasiswa ternyata belum mampu menurunkan kadarnya sebagai kelompok elit; pembubaran departemen penerangan yang menandai era kebebasan pers ternyata belum member jaminan lepasnya media massa dari orientasi kepada pasar.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang hanya bersifat parsial mustahil dapat menanggulangi persoalan kemiskinan secara efektif, untuk menanggulangi masalah sosial ekonomi penduduk miskin structural diupayakan program recue dengan cara memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin. Ada enam kategori yang harus dijadikan patokan untuk mewujudkan visi kota untuk semua, yaitu: terbukanya ruang politik yang memungkinkan keterlibatan dan peran serta rakyat dalam proses pengambilan kebijakan; terbukanya peluang bagi penguasaan sumber daya kehidupan sosial maupun sumber daya penghidupan beruapa alat produksi dan factor produksi untuk masyarakat luas dan secara adil; kota harus menjammin kehidupan sosial masyarakatnya, sehingga kota sebagai sarana yang memberikan kebebeasan berekspresi, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta berserikat; kota juga harus mampu menjamin warga kota dala penegakan hukum yang adil sehingga kota merupakan tempat yang bebas akan bentuk kekerasan; terciptanya sarana dan prasarana yang member peluang bagi kenyamanan warga kota mulai dari system transporatasi yang ramah lingkungan dan dapat diakses oleh seluruh warga kota dan didukung oleh distem informasi yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat; serta adanya perlindungan, pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dengan tidak bertentangan dengan HAM.
Agenda perubahan sangat diperlukan untuk meminimalisasi kemiskinan diperkotaan yaitu dengan adanya peran pemerintah dan peran masyarakat. Agenda yang harus dilakukan memiliki prioritas sebagai berikut:

Peran masyarakat
Peran Pemerintah
Pemberdayaan Melalui Pengorganisasian
·     Masyarakat Miskin mengembangkan kelembagaan
·     NGO/LSM memfasilitasi terbentuknya organisasi rakyat
·     Mendorong semua pihak berorientasi pada masyarakat miskin.
·     Pendidikan alternatif
·     Pengakuan warga kota tanpa pembedaan status
·     Pengembalian hak asal usul masyarakat
·     Pemerintahan bersih
·     Rekonstruksi pendidikan
Advokasi dan Diseminasi Informasi
·     Rakyat mulai mengembangkan fasilitas dasarnya
·     Ikut dalam “Forum Antara”
·     Pengembangan Media Komunikasi RMK
·     Pengembangan mekanisme penyusunan kebijakan terhadap Rakyat Miskin Kota
·     Public hearing APBD dan PAD
·     Program pengkajian krisis terhadap sector kerawanan kota dan kelompok rentan kemiskinan di kota
·     Pelatihan civic education bagi masyarakat formal dan informal
·        Mendukung
·        Menyediakan ruang public
·        Kemudahan dana untuk mendukung inisisatif, kreatifitas usaha ekonomi rakyat miskin kota
·        Penyusunan kembali konsep dan model pendidikan non formal di perkotaan bersama rakyat
·        Pertemuan rutin serta penyamaan persepsi pada tingkat pemegang kebijakan kota yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan
Optimalisasi Jaringan Masyarakat Miskin Kota Melalui forum
·     Mampu merumuskan dan mempengaruhi pengambilan keputusan
·     Penegakan hukum formal maupun hukum lokal untuk bertindak tegas terhadap KKN
·     Penyusunan dan implementasi program bersama antara RMK dan pelaku pembangunan
·        Mendengar dan menerima
·        Kemudahan dana untuk mendukung inisisatif, kreativitas usaha ekonomi rakyat miskin kota.


06 Juni 2012

Kembalikan Hak Tanah Rakyat

Kembalikan Hak Tanah Rakyat

            Wacana “kembalikan hak kami” sering kali muncuk ketika rakyat-rakyat kecil berdiri di depan kantor pemerintahan untuk menuntut apa yang seharusnya menjadi miliknya dan meminta pertanggungjawaban dari perbuatan pemerintah yang mengabaikan hak rakyat. Sengketa tanah merupakan salah satu masalah yang terjadi antar masyarakat dan pihak pemerintah baik aparat kepolisian, pemerintah lokal. Tidak menutup kemungkinan bahwa masalah sengeta tanah ini terjadi antara masyarakat dengan masyarakat daerah tersebut, masalah agraria ini juga sering terjadi antara masyarakat dan perusahaan-perusahaan swasta dengan masalah kepemilikan tanah yang ada. Sengketa tanah dan sumber agraria saat ini sering menjadi konflik yang ada di Indonesia, begitu banyak masalah muncul masalah agraria-agraria lainnya diberbagai daerah setelah salah satu daerah melakukan aksi dan pelaporan terhadap tanahnya.
            Adanya berbagai kasus sengketa tanah diberbagai daerah membuat kasus-kasus pertanahan muncul di berbagai media yang hampir ribuan konflik agraria. Masalah agraria dari dulu tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah dan lebih banyak membiarkan dan tidak menanggapi secara cepat dan tuntas. Munculnya berbagai sengketa tanah ini tidak secara cepat terjadi tetapi masalah tersebut telah berkembang yang telah lama didiamkan oleh negara.
            Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, adalah salah satu daerah yang akhir-akhir ini namanya begitu populer dimedia massa dan di telinga masyarakat. Daerah perbatasan yang menjadi konflik sengketa tanah antara masyarakat dan perusahaan yang ada di daerah tersebut. Siapa pemilik tanah sebenarnya, mana janji perusahaan untuk mengganti rugi kepada rakyat atas tanahnya, ini menjadi pertanyaan yang sering disampaikan oleh masyarakat ketika meminta pertanggungjawaban kepada perusahaan yang menggunakan tanah ulayat yang telah menjadi milik rakyat daerah sekitar. Kasus mesuji yang terjadi di Lampung dan Sumsel ini mulai mencuat ke publik ketika ada video yang diberitakan ke DPR RI yang diadukan oleh seorang warga di daerah tersebut. Dimana terjadi pembantaian rakyat sebanyak 30 orang akibat konflik lahan perusahaan sawit dengan penduduk yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 2009-2011. Konflik lahan Mesuji ini juga dikenal sebagai Register 45 yang sebenarnya sudah lama terjadi.
            Berdasarkan data dari Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum dan Masyarakat (HuMa) selama 10 tahun terakhir ada sekitar 108 konflik agraria yang terdapat di 10 provinsi di Indonesia. BPN mencatat ada ribuan yaitu sekitar 8000 konflik agraria di Indonesia. Pada konflik agraria ini didominasi oleh konflik teritorial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus).
Konflik agraria ini selalu melibatkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta, BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional dan Perhutani.          Selain itu aparat keamanan juga selalu terlibat seperti militer, pihak kepolisian dan ada juga keterlibatan preman. Perusahaan-perusahaan selalu memakai  mereka untuk mengamankan perusahaan dari segala tuntutan masyarakat atas tanah yang mereka dikuasai oleh perusahaan. Kasus konflik agraria yang terjadi di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan juga melibatkan aparat tersebut untuk membantu perusahaan-perusahaan perkebunan. Seperti telah disampaikan diatas bahwa terjadi pembantaian puluhan masyarakat yang dilakukan oleh aparat untuk membela sebuah perusahaan dengan mengabaikan hak hidup masyarakat. Konflik ini merupakan sebuah pelanggaran HAM yang dilandasi dari perampasan tanah masyarakat untuk perkebunan sawit yang terjadi disekitar 1990-an.
Polisi dan marinir dalam konflik Mesuji ini mulanya bersitegang dengan penduduk tiga desa yaitu Sri Tanjung, Kagungan Dalam, dan Nipah Kuning. Polisi menembak penduduk karena hendak menyerang petugas dan merusak bangunan perusahaan PT.Barat Selatan Makmur Investindo. Pada kasus ini ada lahan kelapa sawit yang diklaim oleh perusahaan, ada salah seorang warga menyatakan bahwa tanah itu adalah milik rakyat karena PT tersebut tidak tuntas membayar ganti rugi sejak tahun 1994. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dimiliki oleh beberapa orang pemegang saham.

Akar Permasalahan
Akar permasalahan dari konflik agraria adalah perampasan tanah ulayat, perizinan dan janji palsu oleh perusahaan perkebunan. Berbagai macam data yang ditemukan oleh masing-masing tim yang mengungkapkan konflik agraria di Mesuji. Beberapa kasus yang terjadi di Mesuji mengenai konflik agraria berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh melalui peninjauan langsung oleh tim dalam peninjauan kasus tersebut dimulai pada tahun 1991.
Terdapat tiga buah perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat sejak tahun 1991 di Register 45 yaitu PT. Silva Inhutani, PT.Sumber Wangi Alam, dan PT. Barat Selatan Makmur Investindo. Ketiga perusahaan ini kembali mengalami konflik pada tahun 2011 yang lalu setelah beberapa tahun pernah mengalamu konflik terhadap masyarakat yang hanya didiamkan oleh pemerintah. Dari data yang ada kasus ketiga perusahaan ini adalah:
1.      Konflik PT. Sumber Wangi Alam (SWA) dengan masyarakat di sungai Sodang, Kecamatan Mesuji Sumatera Selatan. Konflik ini terjadi pada 21 April 2011. Ada terjadi pembunuhan yang menewaskan dua orang warga, hal ini diindikasi merupakan ulah dari PT.SWA dan akhirnya warga pun menyerang PT.SWA.
2.      Konflik PT.Silva Inhutani dengan warga di Register 45 di kabupaten Mesuji, Lampung yang terjadi sejak 2009. Dalam kasus ini PT.Silva mendapatkan penambahan lahan Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini menjadi melebar hingga ke wilayah pemukiman warga sekitar. Hak Guna Usaha menjadi sumber konflik karena warga sudah tinggal bertahun-tahun diwilayah pemukiman diusir dan rumah masyarakat dirobohkan oleh pihak PT tersebut.
3.      Konflik antara PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga masyarakat di Register 45 Lampung terjadi pada 10 November 2011. PT BSMI ini letaknya dekat dengan PT. Silva Inhutani, pada kasus ini terjadi penembakan terhadap warga yang dilakukan oleh Brimob dan Marinir yang menewaskan 6 warga.

Melihat konflik agraria yang semakin meluas di Indonesia, pemerintah berupaya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Desakan untuk membentuk panitia khusus (pansus) untuk sejumlah kasus agraria mulai mengalir dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal tersebut ada sebagai akibat berbagai masalah pertanahan yang terjadi sepanjang tahun 2011. Pembentukan Pansus yang mengurusi konflik agraria diharapkan dapat mengetahui dan memetakan beragam persoalan terkait sengketa lahan yang terjadi diberbagai daerah. DPR RI menilai akar dari sengketa agraria ini adalah tanah ulayat dijadikan sebagai lahan bisnis, perizinan dan janji perusahaan menjadikan penduduk asli sebagai petani plasma.
Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana. Tim tersebut beranggotakan Ketua Komisi Nasional HAM, perwakilan dari kepolisian, Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah setempat, tokoh masyarakat setempat, dan perguruan tinggi. Sejak dibentuk pada tanggal 17 Desember 2011, TGPF menemukan lima temuan awal dalam tragedi Mesuji yaitu:
1.      Kejadian Mesuji terjadi pada tiga lokasi yaitu di Register 45, Desa Sri Tanjung (Mesuji-Lampung), dan Desa Sodong kecamatan Mesuji-Sumatera Selatan.
2.      Sengketa tersebut sudah terjadi dalam proses yang cukup lama, yang salah satu titik kejadiannya muncul dalam bentuk korban jiwa, korban luka dan beberapa kerugian materil di tiga lokasi tersebut.
3.      Utamanya pada dua tempat di Lampung, yaitu di Register 45 dan Sri Tanjung, jatuhnya korban jiwa perlu pendalaman lebih jauh dan tim akan berkoordinasi penuh dengan Kommnas HAM terkait persoalan HAM.
4.      Kelompok aktor yang ada di masing-masing wilayah, ada dari unsur masyarakat, perusahaan, pemerintah, serta aparat keamanan dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda.
5.      Jumlah korban jiwa yang meninggal akibat bentrokan di tiga lokasi tersebut untuk periode 2010-2011 adalah sembilan orang, masing-masing satu orang di register 45, satu orang di Sri Tanjung, dan tujuh orang di Sodong.
Ternyata apa yang menjadi temuan dari TPGF ini bagi banyak kalangan peneliti atas masalah ini tidak mengakar pada permasalahan dan tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang terjadi.
Begitu banyak temuan-temuan dari penanganan kasus mesuji ini terlihat bahwa konflik tersebut terdiri dari konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan ataupun pengusahaan hutan. Umumnya akibat ketidakjelasan status tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat dalam kacamata hukum agraria nasional; konflik lahan yang berkaitan perambahan oleh masyarakat lokal ataupun pendatang; dan konflik lahan berkaitan dengan lingkungan hidup, berkaitan dengan penambangan yang dapat mematikan sumber air untuk kehidupan sehari-hari dan pertanian.

Pelanggaran HAM
            Jelas terlihat bagaimana aparat keamanan terlibat dalam konflik agraria yang terjadi di Mesuji, aparat yang tidak memihak rakyat dan tidak melindungi tapi justru melakukan tindakan pembunuhan hingga menewaskan masyarakat. Terlibatnya aparat dalam konflik tersebut membuat asumsi bahwa penegak hukum di Indonesia sudah tidak sesuai dengan visi dan misinya,mereka cenderung menjadi pengikut para pemilik modal yang besar .
            Hukum yang diharapkan adil kepada seluruh masyarakat tidak lgi tercapai dan terlaksana, semua dikesampingkan demi memenuhi kas pribadi. Para pencari kebenaran pun berusaha untuk menutupi atau tidak menindaklanjuti kasus agraria ini. Penemuan bahwa aparat keamanan yang terlibat dalam kasus Mesuji ini menyalahi aturan yang ada, dimana aparat didanai oleh pihak perusahaan untuk penertiban kawasan hutan dan pengamanan perkebunan.
            Dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 mengenai kepolisian dimana fungsi dari aparat kepolisian adalah mengayomi dan melindungi masyarakat. Tetapi pada kenyataanya dalam menangani kasus agraria yang terjadi di Mesuji aparat lebih memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan, dan masyarakat pun menjadi korban dan sasaran para aparat kepolisian. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat merupakan tindakan yang tidak melihat hak azazi manusia.
            Kasus mesuji ini memperlihatkan bahwa para elit tidak mau lagi mendahulukan kepentingan umum, sehingga masyarakat kehilangan tempat bersandar. Pembunuhan dan pembantaian warga yang dilakukan merupakan tindakan yang sangat keji dengan tidak memperdulikan hak untuk hidup. Aparat bertindank dengan sewenang-wenangnya, hak azazi manusia dirampas begitu saja, melakukan kriminalisasi terhadap warga tanpa ada komunikasi yang jelas dalam menyelesaikan kasus agraria yang terjadi di Mesuji.

Refleksi Diri
            Tidak kunjung hentinya masalah menimpa bangsa Indonesia mulai dari kasus korupsi oleh pejabat yang merajalela, hukum yang tidak adil kepada rakyat dan selalu berpihak kepada para penguasa maupun elite, hingga masalah agraria yang muncul ke permukaan.
            Kondisi Indonesia yang saat ini banyak berkaitan dengan tragedi kemanusiaan yang berlawanan dengan dasar bangsa Indonesia,Pancasila dan UUD 1945. Begitu banyak permasalahan yang terjadi, apa yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa permasalahan yang berkaitan dengan kemanusiaan mulai muncul akhir-akhir ini baik kasus Papua, Bima, dan juga Mesuji Lampung dan SumSel.
            Pemilik modal dalam sebuah perusahaan adalah elit penguasa, pemerintah di suatu daerah adalah elit lokal. Penguasa dan pengusaha selalu menjalin konspirasi untuk mendapatkan keuntungan masing-masing. Dalam kasus mesuji ini pihak elit ini terlibat baik dalam izin penggunaan lahan, dimana penguasa memberikan izin kepada pengusaha pemilik modal besar karena duit. Kelalaian pemerintah sebagai elite yang memerintah dalam menangani kasus kekerasan dan pelanggaran HAM ini dinilai sangat lamban dalam mengantisipasi dan menanganinya.
            Munculnya sebuah teori elite karena sesorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan dari yang lain, memiliki kekuasaan yang sangat besar dan massa hanya menjadi domain of power  dari elite karena massa tidak memiliki kekuasaan. HAM, merupakakan ciri dari demokrasi. Ketika terjadi pelanggaran HAM maka demokrasi pun tidak akan berjalan dengan baik, hak dirampas oleh para elit yang memiliki keuasaan dan menggunakan kekuasaan untuk menundukkan massa dengan melakukan apa yang dikehendaki elit. Pemerintah lokal dan pengusaha dari perusahaan dalam kasus mesuji merupakan cerminan dari elit dalam studi demokrasi. Dimana pusat perhatian adalah pada tarik menarik kekuatan (konfigurasi), adanya proses negoisasi diantara elite, baik elit nasional dengan elit nasional, elit lokal dengan elit lokal dalam menentukan arah transisi politik.
            Aparat keamanan, baik polisi dan militer juga merupakan elit yang berkuasa. Elite yang berada di sebuah negara demokrasi yang belum jelas seperti Indonesia. Keterlibatan aparat dalam kasus mesuji membuat pelanggaran HAM yang luar biasa, dan ini bisa menimbulkan bentuk demokrasi yang oligarkis sehingga terbentuk sebut elit oligarkis juga. Dimana para aparat keamanan baik polisi dan militer merupakan aktor elite oligarkis, mereka menggunankan sumber kekuasaannya untuk menjalin aliansi dengan elit-elit lainnya, seperi aliansi elite politik dengan elite bisnis. Para elite ini menjalin hubungan tanpa melihat apa yang diinginakan oleh masyarakat sekitarnya, hubungan yang terjadi mendahului kepentingan sendiri tanpa melihat massa.  Para elite bisnis menggunakan sumber kekuasaanya yaitu ekonomi sebagai pemilik modal yang besar.
            Masyarakat hanya ingin keadilan, menuntut apa yang menjadi haknya, tetapi dengan mudah pemerintah mengabaikan semuanya itu. Perlakuan yang dialami pun selalu diwarnai dengan tindak kekerasan oleh pihak aparat,warga dengan mudah dilumpuhkan oleh para penguasa-penguasa melalui aparat. Kasus di Mesuji dan daerah lainnya yang memakan korban begitu banyak  merupakan pelajaran bagi para aparat dan juga pemerintah untuk serius menangani segala permasalahan yang melanda masyarakatnya, khususnya dalam menjunjung Hak Azazi Manusia jangan dihiraukan begitu saja, menegakkan keadilan bagi warga masyarakat.
            Berbagai kasus terjadi menunjukkan bagaimana kualitas pemerintah dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi oleh warganya sendiri. Negara tidak dapat menjamin hak-haknya dan tidak melindungi warganya yang sama sekali tidak berpihak pada para kapitalis. Rakyat selalu menjadi korban dari kepentingan-kepentingan penguasa dan pemilik modal, elit-elit penguasa selalu berjaya diatas penderitaan rakyat. Oleh karena itu pemerintah harus dapat menangani krisis-krisis yang dimiliki di tubuh para aparat keamanan.
            Selain itu belajar dari kasus mesuji mengenai konflik pertanahan (agraria) sebaiknya pemerintah dan pihak yang berwewenang dalam mengurus bidang pertanahan saling bekerjasama untuk memberikan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh rakyat. Pengaturan Undang-Undang Agraria yang selama ini belum ada perubahan yang memihak rakyat agar dirumuskan kembali. Pemerintah sebagai elit penguasa juga harus memiliki ketegasan untuk mengakui tanah hak ulayat dalam peraturan perundang-undangan tanpa syarat tertentu dengan melauan land-reform berupa retribusi tanah untuk petani gurem dan petani tanpa lahan dan membangun penambangan berwawasan lingkungan. Pemerintah juga harus mengeluarkan peraturan bagaimana sikap yang harus dilakukan aparat ketika terjadi sebuah masalah seperti ini, dengan tidak memihak kepada pengusaha asing. Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan TAP MPR No.XI/2001 tentang Reforma Agraria harus dilaksanakan secara konsisten. Otoritas Penanganan persoalan agrariapun harus diperjelas tidak tersebar di berbagai kementerian seperti yang terjadi saat ini di negeri ini sehingga rakyat pun dapat menikmati haknya sebagai topangan kehidupan mereka dalam memenihi kebutuhannya.

Daftar Bacaan:
Eko Prasetyo, Demokrasi Tidak Untuk Rakyat, Yogyakarta, Resist Book, 2005.
Ida Aju Pradnja, Kemana Harus Melangkah (Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan), Jakarta, YOI,2003.
Mochammad Tauchid, Masalah Agraria (sebagai masalah penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia), STPN Press, 2009
Majalah tempo
             
            

Desentralisasi Fiskal


POLITIK KEUANGAN DAERAH

Desentralisasi fiskal merupakan salah datu cara ataupun instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional (pusat). Desentralisasi fiskal memiliki tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal merintah pusat dan pemerintah daerah, mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah, menjamin fiscal sustainabily di daerah. Dalam mencapai tujuannya tersebut desentralisasi fiskal memiliki instrumen yaitu, Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi ( DAU dan DAK). Ketiga instrument dalam desentralisasi fiskal diharapkan mampu mengurangi ketimpangan fiskal yang terjadi, tetapi tidak seluruh dari instrumen tersebut mampu mengurangi ketimpangan fiskal yang terjadi dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi disetiap daerah.
Berikut akan saya uraikan instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal yang terjadi baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun ketimpangan fiskal antar daerah.
1.      Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalane) adalah Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi (DAU,DAK).
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. Setiap daerah pasti memiliki sumber PAD yang berbeda oleh karena itu pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerapkan jenis pajak yang disetiap daerah. Dari pengetian diatas maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memungut pajak daerahnya masing-masing dengan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan dengan persetujuan Pemerintah Pusat agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar pusat dan daerah. Dengan kata lain instrument desentralisasi fiscal dalam hal pajak daerah mampu mengurangi vertical fiscal imbalance (ketimpangan fiscal vertical)
Dana Bagi Hasil mampu mengurangi vertical fiscal imbalance hal ini dapat dilihat bahwa bagi hasil merupakan pemberian sebagian pendapatan nasional dari suatu sumber tertentu kepada daerah dimana pendapatan itu diperoleh. Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.
Begitu juga dengan Subsidi (DAU,DAK) dapat mengurangi ketimpangan fiscal vertical karena akan memberikan pemertaan kepada setiap daerah dari pemberian DAU dan DAK. Setiap daerah yang belum mampu memenuhi kebutuhannya makan pemerintah pusat akan memberikan Dana alokasi tersebut.
Sebagai contoh, hampir seluruh daerah yang ada di Indonesia diberikan kewenangan oleh pusat dalam mengurusi keuangan daerahnya, baik dalam pajak daerah, bagi hasil dan subsidi agar ketimpangan fiskal antar pusat dan daerah tidak terjadi begitu besar.
2.      Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal horizontal (horizontal fiscal imbalane) adalah Subsidi (DAU,DAK).
Pajak Daerah tidak mampu mengurangi ketimpangan fiscal antar daerah karena kemampuan setiap daerah berbeda dalam sumber Pendapatan Asli daerah yang berbeda, ketika suatu daerah memiliki PAD rendah yang diakibatkan pemekaran dan provinsi memberikan jenis pajak yang sama dalam setiap daerah maka daerah tersebut belum tentu mampu mengumpulkan uang yang sama besarnya. Sehingga hal ini akan menyebabkan ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal fiscal imbalance).
Bagi hasil akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Oleh karena itu instrument desentralisasi fiscal ini tidak dapat mengurangi horizontal fiscal imbalance tetapi akan menimbulkan ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal fiscal imbalance) karena yang paling memperoleh alokasi yang besar adalah daerah penghasil dan akan terlihat disporitas yang sangat tinggi dalam komponen bagi hasil.
Subsidi (DAU,DAK) mampu memperbaiki ketimpangan fiscal horizontal (ketimpangan fiscal antar daerah) karena instrument desentralisasi fiscal ini mampu mendorong suatu daerah untuk berbuat sesuatu melalui insentif. Subsidi mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dana Alokasi Umum memiliki tujuan yaitu pengurangan kesenjangan fiscal antar daerah, dimana konsep kesenjangan fiscal untuk mengalokasi DAU sudah tepat karena telah memperhitungkan dua aspek yaitu kebutuhan dan kemampuan fiscal pemerintah daerah. DAu diberikan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, oleh karena itu jika dalam suatu darah provinsi ada kabupaten atau kota yang belum mampu memenuhi kebutuhannya maka pemerintah provinsi akan memberikan DAU kepada kabupaten atau kota tersebut. Pemberia DAU ini sesuai dengan prinsip pemberian subsidi yaitu berdasarkan rumusan fiscal gap. Fiscal gap merupakan ketidakmampuan suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya, dengan kata lain jika fiscal gap suatu daerah besar maka subsidi yang diberikan akan besar pula dan sebaliknya.
DAK tidak dialokasikan kepada semua daerah tetapi hanya kepada daerah tertentu yang mempunyai kondisi khusus. Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/ prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional.[1] Pemaparan diatas mengenai DAK dapat diartikan bahwa jika suatu daerah dalam provinsi belum memilik dana dalam mengelola hutan khususnya makan pemerintah pusat akan memberikan DAK tersebut kepada provinsi, dan sebaliknya pemerintah daerah memberikan DAK kepada kabupaten atau kota tertentu. Oleh karena itu DAK dalam hal ini dapat mengurangi ketimpangan fiscal antar pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) serta ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal fiscal imbalance). Pemaparan diatas dapat menyimpulkan bahwa instrument desentralisasi fiskal yang dapat mengurangi ketimpangan fiscal horizontal adalah hanya subsidi (DAU dan DAK). Sebagai contoh daerah seperti papua, aceh yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan daerah melalui pendapatan daerah tersebut, sehingga pemerintah daerah provinsi memberikan dana alokasi khusus agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar daerah di daerah tersebut.


[1]  Undan-Undang No 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan 

11 Maret 2012

DAILY POLITICS

DAILY POLITICS ;
HOW AN INFORMAL LEADER SURVIVE?
(STUDI MENGENAI MBAH MAHMUDI, INFORMAL LEADER DI SLEMAN, YOGYAKARTA)

Belakangan ini politik mengalami reduksi makna. Politik seringkali dimaknai menjadi hanya sekadar urusan para politisi, anggota partai dan anggota DPR yang berebut kekuasaan, padahal dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak bisa terlepas dari politik, baik secara sadar ataupun tidak. Bahkan orang yang mendeklarasikan diri tidak berpolitik, sebenarnya dia sedang berpolitik. Lasswell mendeskripsikan politik sebagai “who gets what, when, how[1] , atau masalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Sehingga sebenarnya setiap orang secara sadar atau tidak sedang berpolitik, terlepas dari besar kecilnya sumberdaya (what) yang dibutuhkan seseorang untuk terus bertahan hidup (survive). Hal ini berarti politik melekat dalam kehidupan sehari-hari manusia, sampai seumur hidupnya.
Setiap orang memiliki cara tersendiri (how) untuk survive dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat survival ini tergantung dari seberapa banyak resources yang bisa diambil untuk kepentingan masing-masing. Semakin banyak resources yang didapatkan, semakin besar pula kekuasaan yang dimiliki. Cara berpolitik dalam kehidupan sehari-hari seseorang inilah yang sangat menarik untuk diamati.  Dalam upayanya untuk memiliki kekuasaan atas sumber daya inilah, mengharuskan seseorang untuk selalu menjalin relasi, baik relasi dengan masyarakat, negara maupun diantara sesamanya.
Tulisan ini hendak mengangkat salah satu potret politik dalam kehidupan sehari-hari, yaitu politik seorang informal leader, mbah mahmudi untuk survive. Mbah mahmudi merupakan mantan preman yang sudah bertaubat dan menjadi pemuka agama (kyai) di desa. Sejarah personal masa lalu dan citra diri sebagai “preman kyai” yang melekat di masyarakat menjadikan mbah mahmudi diperankan sebagai informal leader oleh masyarakat desa setempat ataupun preman-preman di daerah Sleman, Bantul dan kota Yogyakarta. Informal leader merupakan salah satu aktor intermediary yang berada diantara ranah masyarakat dan negara serta memiliki peran dalam menghubungkan kedua entitas tersebut. Kajian mengenai survivalitas informal leader ini menjadi suatu kajian yang menarik dan relevan dalam kajian politik intermediary. 
Membangun Mitos, Menuai Popularitas
Politik seringkali dimaknai sebagai kekuasaan[2]. Yaitu seni perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain, ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan. Dalam kehidupan modern ini, kekuasaan pada dasarnya jamak. Kekuasaan berasal dari banyak berasal dari banyak sumber. Sumber-sumber kekuasaan tersebut antara lain sumber ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Sehingga dalam kehidupan ada kekuasaan ekonomi, kekuasaan sosial, kekuasaan budaya maupun kekuasaan politik. Dalam masyarakat, kekuasaan tidak pernah terdistribusi secara merata. Selalu saja ada orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan lebih besar dari yang lainnya dalam bidang-bidang tertentu. Kekuasaan yang lebih besar ini muncul karena kemampuan atau performa yang lebih dari seseorang dalam satu atau beberapa bidang kehidupan yang membuat orang lebih baik dari orang lain.[3]
Distribusi kekuasaan dalam masyarakat yang tidak merata memunculkan dua kelompok dalam masyarakat.  Orang atau sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan penting yang disebut elit dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan disebut massa. Secara internal, elite ini memiliki sifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok (memiliki latar belakang yang mirip, memiliki nilai-nilai kesetiaan dan kepentingan bersama). Elite mengatur sendiri kelangsungan hidup dan keanggotaannya sehingga hanya berasal dari satu lapisan masyarakat yang sangat terbatas (eksklusif). Elite ini pada dasarnya otonom, kebal akan gugatan dari siapapun di luar kelompoknya[4].
Dalam masyarakat yang relatif kecil dan homogen (homogenous-geimenschaft), ada kecenderungan elit berbentuk tunggal dan memiliki pengaruh dan kekuasaan di seluruh cabang kehidupan seperti ekonomi, politik dan kultural. Sedangkan dalam masyarakat yang kompleks, dan heterogen (heterogenous-geselschaft) ada kecenderungan elit yang banyak ragamnya. Di setiap cabang-cabang kehidupan yang penting (ekonomi, sosial, politik), akan muncul sekelompok orang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada yang lain. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang ekonomi, dinyatakan sebagai elit di bidang ekonomi. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang politik dinyatakan sebagai elit di bidang politik. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam lebih dari satu bidang kehidupan. Dimungkinkan juga yang bersangkutan selain menjadi elit di bidang ekonomi menjadi elit di bidang politik[5].
Mengenai elit local dalam konteks saat ini, dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia, Migdal berteori bahwa elit lokal muncul disebabkan refleksi kekuatan masyarakatnya yang plural dan ditambah dengan kelemahan negara. Setiap kelompok dalam masyarakat memiliki pemimpinnya sendiri dan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara.  Sifatnya yang otonom menyebabkan keberlangsungan hidup elite lokal bergantung pada kapasitas sosial dari negara. Kapasitas sosial dapat diartikan kemampuan negara untuk membuat warganya mematuhi aturan permainan dalam masyarakat. Kemampuan menyediakan sumber daya guna keberlangsungan hidup warganya atau mengatur perilaku dan kehidupan masyarakat dalam keseharian.
Individu maupun kelompok dapat memobilisasi sesuatu untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, sehingga mampu mempengaruhi masyarakat sekelilingnya untuk mendapatkan sebuah pengakuan ataupun legitimasi. Adanya upaya mempertahankan kekuasaan tersebut individu maupun kelompok tersebut akan membuat masyarakat mengikuti apa yang dikatakan oleh individu dan apapun yang dilakukan adalah sebuah legitimasi. Menjaga kekuasaan membutuhkan sumber daya (resources) baik sumber daya sosial, politik dan ekonomi karena hal ini sangat berkorelasi terhadap terkonsentrasinya sebuah kekuasaan.
Pemimpin dalam kelompok masyarakat tidak harus menduduki jabatan tertentu. Dalam masyarakat seringkali mengangkat orang yang dianggap memiliki kelebihan sebagai pemimpin mereka. Inilah yang disebut dengan pemimpin informal (informal leader). Pemimpin informal memperoleh kekuasaan / wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis. Tidak ada ukuran obyektif tentang bagaimana seorang pemimpin informal dijadikan pemimpin. Dasarnya hanyalah oleh karaena dia pernah benar dalam hal tertentu, maka besar kemungkinan dia akan benar pula dalam hal tersebut pada kesempatan lain. Di samping penentuan keberhasilan pada masa lalu, pemilihan pemimpin informal juga ditentukan oleh perasaan simpati dan antipati seseorang atau kelompok terhadapnya. Seseorang yang memiliki sifat dan pembawaan yang membuat orang menyukainya, akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemimpin informal dibandingkan orang lain yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Pendapat-pendapat dan saran-sarannya pun akan lebih mudah diterima apabila dia memiliki sifat mudah disukai. Oleh karena itu seseorang yang mempunyai kecakapan dan pengertian terhadap kehidupan sosial serta memiliki kepribadian yang dapat memberikan popularitas sosial kepadanya, mempunyai kesempatan yang paling besar untuk menjadi seorang pemimpin informal.
Mbah Mahmudi memiliki kekuasaan dengan ketokohan sebagai Kyai (basis agama) dan ketokohan sebagai (mantan) preman yang identik dengan kekerasan (basis sosial). Kekuasaan inilah yang mengantarkannya memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai pemimpin informal. Ketokohan sebagai kyai dibentuk oleh masyarakat Desa Selomartani yang menganggap bahwa beliau juga merupakan “kyai” yang juga penerus ayahnya yang merupakan kyai, penyebar agama Islam pertama di desa selomartani (yang sebelumnya mayoritas penduduk beragama hindu). Keluarga mbah mahmudi juga dianggap oleh masyarakat desa sekitar masih keturunan dari keraton kasultanan Yogyakarta. Kuasa Mbah Mudi sebagai kyai ini muncul pada pertengahan tahun 1980-an setelah Mbah Mahmudi keluar dari penjara dan “bertaubat”, kemudian ia meneruskan dakwah ayahnya yang juga seorang kyai. Mbah mahmudi ini kemudian dinikahkan dengan perempuan lulusan pesantren Salaf dari daerah Jawa Timur yang juga merupakan anak Kyai. (yang kata Mbah Mahmudi tidak paham tentang dunia, yang ada di istrinya hanya urusan akhirat).
Kuasa sebagai kyai ini dikuatkan dengan adanya masjid di dekat rumah mbah mahmudi, yang merupakan satu-satunya masjid di dusun tersebut. Kuasa sebagai kyai ini juga dirawat dengan rutinitas ibadah sholat 5 waktu di masjid dengan mbah mahmudi sebagai imamnya. Adanya pengajian rutin setiap selasa kliwon dan pengajian akbar setiap perayaan hari besar umat Islam yang dihadiri oleh masyarakat desa sekitar dan teman-teman mbah mahmudi dari pesantren ataupun preman yang berjumlah sekitar 3000 orang. Pengajian ini diasuh sendiri oleh Mbah Mahmudi dan istrinya yang merupakan qori quran yang berasal dari pesantren salaf di daerah Jawa Timur. Kuasa ini disambut oleh masyarakat (mendapatkan legitimasi masyarakat) dengan menjadikan Mbah Mahmudi sebagai rujukan ketika masyarakat mengalami masalah. Oleh mbah mahmudi, masalah ini diberikan solusi yang “relijius” dengan bacaan ayat suci Al- Quran, doa-doa serta amalan-amalan. Kuasa sebagai kyai Mbah Mahmudi juga mendapat pengakuan dari masyarakat dengan berdatangannya beberapa orang dari luar desa yang belajar ilmu kekuatan ghaib dan ilmu kebal senjata.
Berikutnya ketokohan sebagai preman. Ketokohan sebagai preman ini muncul dari citra yang dibentuk preman-preman yang ada di daerah Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten  Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Kuasa Mbah Mahmudi sebagai preman berawal ketika beliau dipenjara pada pertengahan tahun 1970an dikarenakan kasus uang palsu. Kiprah Mbah Mahmudi di penjaralah yang membangun kuasa dia sebagai preman yang hebat dan diakui kehebatannya. Pada saat itu oleh sesama narapidana di LP Wirogunan, Mbah Mahmudi dianggap sebagai preman “sakti” dengan kemampuannya menghilang dari penjara (kabarnya pulang ke rumahnya) ketika awal malam hari dan kembali lagi ke penjara saat pagi harinya. Mbah Mahmudi diakui memiliki kesaktian yang tidak dimiliki oleh preman-preman lain. Hal ini juga dikuatkan pada saat pemotongan rambut penghuni LP, dimana rambut Mbah Mahmudi tidak dapat dipotong oleh petugas. Hal ini membuat Mbah Mahmudi “diajeni” dan digolongkan sebagai narapidana dengan kemampuan luar biasa dan mendapat pengakuan dari orang-orang yang saat itu dipenjara dimana mayoritas adalah preman, dimana didalamnya termasuk preman-preman senior. Di dalam penjara itulah Mbah Mahmudi membangun relasi dengan preman-preman senior yang terorganisir dan mengidentikkan dirinya sebagai golongan preman yang tidak segan segan melakukan kekerasan.
Mbah Mahmudi sendiri dikenal tidak mempan apabila disakiti (memiliki ilmu kebal). Preman-preman senior yang saat itu dipenjara menjalin hubungan baik dengan mbah mahmudi, sampai keluar dari penjara, hubungan itu masih dijalankan dalam bentuk pertemanan. Seiring waktu, Mbah Mahmudi sering dimintai tolong kerjasama dalam mengupgrade anggota-anggota kelompok preman yang diketuai  preman senior kenalan mbah mahmudi dengan mengajarkan ilmu keberanian dan kebal senjata. Selain itu, mbah mudi juga diajak kerjasama dalam berbagai bisnis “hitam”. Relasi yang luas mbah mahmudi dengan preman-preman senior menimbulkan citra preman sakti melekat di mbah mahmudi. Apabila ada permasalahan dengan orang lain, mbah mahmudi tinggal minta bantuan preman-preman senior, maka anak-anak buah preman senior yang akan turun ke lapangan untuk menyelesaikan permasalahan. Ketika preman-preman senior mendirikan klub pengamanan eksklusif pun, mbah mahmudi “dilamar” untuk menjadi salah satu ketua kata-katanya diikuti oleh anggota klub. Klub pengaman ini berjumlah 50 orang anggota tetap yang terdiri dari para preman yang sudah memiliki nama, para juara tarung derajat, anggota TNI, Polisi, PM yang berjumlah tujuh orang serta merekrut  volunteer jika ada even yang membutuhkan tenaga pengamana ekstra. Reputasi mbah mahmudi sebagai preman senior ini diakui oleh preman-preman di Kab.Bantul, Kab, Kulon Progo, Kab.Sleman, dan Kota Yogyakarta. Bahkan kepolisian dan tentara juga menggolongkan Mbah Mahmudi sebagai preman yang identik dengan kekerasan, meskipun saat ini berperan sebagai kyai dalam masyarakat Desa Selomartani. 
Berdasarkan fenomena diatas sangat tepat dengan apa yang dikatakan oleh Migdal mengenai elit, dimana elit muncul dikarenakan pluralitas masyarakat dan negara lemah. Munculnya beberapa elit lokal karena pluralisme suatu masyarakat  membuat adanya persaingan diantara elit lokal, sehingga muncul statement siapa yang kuat dia yang menang karena elite yang berhasil adalah elite yang berelasi dengan negara dan partai pemerintah. Relasi yang dibangun oleh elit lokal merupakan sebuah bentuk pertahanan (survive) dalam mempertahankan kekuasaannya. Mbah mahmudi sebagai elit lokal mampu mempertahankan kekuasaannya dengan peran yang dimilikinya saat ini dengan relasi yang sangat luas baik masyarakat maupun dengan negara.
Skema Survival Mbah Mahmudi
Oval: AKTOR ELEKTORAL B
Oval: AKTOR ELECTORAL A
Rounded Rectangle: SECURITY Rounded Rectangle: VOTEGATER
 
















Politik Survival
Teori politik klasik Darwin menyatakan bahwa manusia yang kuat adalah manusia yang survive. Berangkat dari hal ini, maka setiap individu harus mencari resources sebanyak-banyaknya untuk survive. Setiap orang mempunyai cara untuk survive, cara-cara ini menarik untuk diamati.
Midgal berpendapat bahwa elite lokal yang dapat bertahan adalah elite lokal yang berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah, sehingga terbentuklah segitiga kekuasaan. Segitiga kekuasaan ini mengizinkan sumber daya negara untuk memperkuat diri elite dan mempersilakan organisasinya mengatur konflik dalam negara. Keberlangsungan dan eksistensinya bergantung pada kekuatan negara untuk mengatur mereka. Para elite juga mampu menemukan pemimpin yang populis untuk mengakomodasikan kepentingan dan organisasi mereka melalui massa yang ada.
Dalam survivalnya, Mbah Mudi juga berusaha mempertahankan diri dengan mengakses banyak resources, termasuk bekerja sama dengan negara dan berusaha memperoleh sebanyak banyaknya sumber daya melalui even-even politik seperti pemilu dan pemilukada.

Survive dengan relasi kemasyarakatan
Mbah mahmudi menganggap masyarakat Desa Selomartani sebagai objek dakwah yang harus diberikan pemahaman mengenai agama dan juga hidup di dunia. Masyarakat harus mandiri dan tidak “diakali” oleh siapapun. Mbah mahmudi sering memberikan ceramah kepada masyarakat di masjidnya dengan pengajian rutin. Selain itu Mbah Mahmudi juga gemar mengobrol dan bercerita dengan masyarakat desa selomartani apabila beliau sedang keluar rumah. Obrolan beliau mengenai kehidupan di sekitar dan prinsip-prinsip sederhana yang digunakan dalam kehidupan, seperti “ lebih baik makan singkong tapi nyata daripada membayangkan makan sate”.
Masyarakat pun menganggap Mbah Mahmudi sebagai kyai yang memiliki koneksi luas, karena seringnya masyarakat melihat tamu di rumah mbah mahmudi yang merupakan anggota DPR, pejabat pemerintahan Pemda Sleman, orang-orang terkenal seperti daerah seperti pak Kamto, Pak Sri Purnomo, dan lain-lain. Jika memiliki masalah yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan prosedur birokrasi sampai kabupaten, masyarakat minta tolong kepada Mbah Mahmudi, yang dianggap memiliki koneksi dengan orang-orang besar di pemda. Sebagai contoh, sebuah cerita dari salah seorang narasumber warga sekitar yang menceritakan bagaimana kecelakaan yang menimpa warga dusun Kledokan, Selomartani, karena tidak punya biaya untuk perawatan opname di rumah sakit, keluarga meminta tolong Mbah Mahmudi untuk membantu menguruskan asuransi jasa raharja, yang sebelumnya diurus keluarga yang bersangkutan mengalami prosedur yang berbelit-belit, dengan bantuan mbah mahmudi, lewat telepon dengan salah seorang pejabat di pemda sleman, jasa raharja dapat segera terurus dan turun dananya. Selain itu apabila masyarakat mengalami kesulitan dalam anaknya belajar menghadapi ujian misalnya, sang orang tua datang ke Mbah Mahmudi. Dengan saran dari Mbah Mahmudi dan bacaan-bacaan yang harus diamalkan, sang anakpun berhasil dalam ujiannya. Semua pertolongan mbah mahmudi tidak mengutip biaya. 
Dalam masyarakat desa, kesan Mbah Mahmudi sebagai preman sudah tertutupi dengan kesan kyai yang memiliki teman-teman preman, yang teman-temannya siap membantu apabila Mbah Mahmudi ada permasalahan. Mbah mahmudi sangat jarang keluar dari kompleks rumah, dan musholla,  justru masyarakat yang membutuhkan beliaulah yang “sowan” ketika mereka ada masalah. Masyarakat menganggap mbah mahmudi sebagai kyai mantan preman yang penolong apabila masyarakat ada permasalahan, dan mbah mahmudi menganggap masyarakat sebagai umat  dan perlu ditolong tanpa memungut biaya.
            Fenomena yang terjadi tersebut membuat Mbah Mahmudi mendapat legitimasi dari masyarakat dengan membantu masyarakat yang memerlukan bantuan dengan sukarela dan tidak dipungut biaya sedikit pun. Oleh karna itu masyarakat sagat mempercayai apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Mbah Mahmudi kepada masyarakat sekittar tempat tinggalnya.

Survive dengan Relasi antar sesama Informal Leader
Mbah mahmudi menganggap tokoh masyarakat lain di desa seperti pak RT, Kepala Dusun dan ibu kepala desa sebagai pamong desa yang seharusnya melayani masyarakat desa. Elit-elit desa yang terkesan baik hati di masyarakat, dihargai Mbah Mahmudi sebagai teman dan berkoalisi ketika ada acara di masyarakat. Tetapi dengan elit desa dan tokoh masyarakat yang terkenal “jahat” terhadap warga, seperti pak dukuh selokerten yang sering mengejek warga kurang mampu, beliaupun memihak pada warga, tanpa menyakiti yang bersangkutan, kecuali kalau ada tindakan yang bersangkutan menyakiti warga, anak buah mbah mahmudi pun siap bertindak.
Elit-elit desa dan tokoh masyarakat juga menganggap Mbah Mudi sebagai orang yang baik meskipun berpotensi menggunakan kekerasan. Tetapi tokoh masyarakat yang dibenci mbah Mahmudi karena kelakukannya pada warga, sering mengatakan mbah mudi sebagai kyai gendeng yang banyak berbicara. Dengan preman-preman di wilayah yogyakarta, mbah mudi membuat koalisi dengan mereka. Reputasi mbah mudi sebagai preman senior sudah diakui oleh jagat prepremanan. Kalau ada permasalahan dengan preman lain, mbah mahmudi mengutus anak buahnya. Apabila anak buahnya tidak bisa menangani, baru mbah mahmudi turun tangan sendiri dan permasalahan menjadi bisa dibicarakan dan selesai karena reputasi mbah mudi sebagai preman senior.kelompok-kelompok yang diketuai oleh preman senior lainpun sering berkunjung ke mbah mudi untuk bekerjasama dalam upgrading anak buah melalui ilmu kebal ataupun tawaran bisnis “gelap”. 
Relasi yang dibangun oleh Mbah Mahmudi dengan sesama Informal Leader yang ada didarah tempat tinggalnya sangat baik. Hal ini membuat relasi yang dimiliki relatif memiliki posisi yang aman ketika dalam relasi tersebut tidak memiliki saingan yang terlalu berat sebagai Informal Leader.

Survive dengan berelasi terhadap negara
Mbah mahmudi menggunakan koneksi di pejabat untuk memuluskan kepentingannya apabila berhubungan dengan birokrasi, termasuk dalam hal menolong orang. Beliau konsen di penyediaan jasa keamanan yang “eksklusif”.  Para pejabat mengenal mbah mahmudi sebagai tokoh yang diandalkan dalam pengamanan, di luar TNI/Polri.
Pemilukada Sleman merupakan even yang membuat nama Mbah Mudi muncul dengan peran sebagai security dan votegater. Pada even tersebut, Mbah Mahmudi berperan sebagai votegater sebagai tim pemenangan Kamto, dimana Mbah Mahmudi tidak secara langsung mendukung  dengan menggunakan namanya. Mbah Mahmudi menggunakan tangan orang lain untuk menjadi votegetter pasangan calon bupati lainnya dalam hal ini Mbah Mudi dapat disebut sebagai “broker politik”. Peran security yang ia miliki merupakan sebuah reputasi yang telah dikenal oleh orang banyak khusunya masayarakat Sleman dimana Mbah Mahmudi memliki kekuatan pengamanan yang sangat kuat, dengan adanya mitos “Kalau ada Mbah Mudi even apapun akan aman”. Adanya mitos tersebut membuat pasangan caon Sri Purnomo untuk menggunakan Mbah Mahmudi sebagai pengaman dalam kegiatan-kegiatan kampanyenya.
Ketika hasil Pemilukada keluar dan menyatakan bahwa pasangan Sri Purnomo menang sebagai Bupati Sleman, maka Sri Purnomo memberikan semacam ucapan terimakasih kepada Mbah Mahmudi karena telah mengamankan kampanye. Selain itu Sri Purnomo menawarkan apa yang sebenarnya yang menjadi keinginan dari masyarakat melalui Mbah Mahmudi yang akan dijadikan sebagai program dari pemerintah.
Dalam even even pemilu, beliau tidak memiliki orientasi politik yang tetap. Kadang PPP, kadang PKB, kadang PDIP, tergantung partai mana yang menggunakan jasanya untuk votegetter dan training satgas. Kalau pemilu nasional cuma cari duitnya, tapi kalau pemilukada, sediakan jasa keamanan satu pasangan calon (yang calon harus ke dia, karena dia dianggap menguasai preman bagian Sleman Timur). Dan dengan tangan orang lain main sebagai votegetter untuk calon yang berbeda.
Mbah Mahmudi di desa tidak begitu banyak bermain, karena ewuh pakewuh sama kepala desa yang notabene juga memiliki dukungan kuat pengusaha (kakaknya kepala desa sekarang, bu Nurhayati, kakaknya (pak Giyanto) adalah kontraktor yang dikenal dekat dengan pak Sri Purnomo, bupati dan memiliki banyak akses untuk proyek-proyek pembangunan di Sleman Timur. Jadi mbah mudi merasa kurang kuat kalau bersaing untuk bermain di level kelurahan. Mbah mahmudi lebih bermain di level luar kelurahan, terutama di bisnis keamanan, dan usaha sehari-hari yang “kerjasama” serta manfaatkan even-even politk yang memiliki banyak dana seperti pemilu legislatif, pemilukada, dan pilkades untuk mendapat keuntungan yang sebesar besarnya dengan mendukung salah satu calon.
Dari fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa Mbah Mahmudi mendapatkan keuntungan dari resources yang ia miliki baik dari sisi security dan votegater. Sehingga masyarakat menganggp Mbah Mahmudi sebagai jembatan komunikasi masyarakat terhadap para pejabat daerah.

Penutup
            Mbah Mahmudi sebagai aktor intermediary memiliki relasi yang sangat baik terhadap masyarakat, sesama informal leader yang ada didaerahnya dan terhadap elite-elite politik. Mbah Mahmudi membangun relasi-relasi tersebut dengan figur dan ketokohan yang ia miliki selama ini, figur yang ia miliki sebelumya adalah preman  dan pada akhirnya berubah menjadi figur kyai membuatnya memiliki legitimasi yang sangat besar dari masyrakat dan kalangan elite lainnya.
            Peran aktor intermediary yang ia miliki mampu dijaga dan dipertahankannya dengan image yang telah lama diakui oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya dan juga oleh para elite-elite politik. Komunikasi yang ia bangun dan dijalani begitu sangat dijaga oleh Mbah Mahmudi baik terhadap warga maupun kelompok atas lainnya untuk mempertahankan legitimasi yang selama ini ia peroleh.



[1] Harold Laswell. 1972. Politics: Who gets what, when,how. New York: The world Publication Comp.
[2] Wiliam Robson. 1954. The University Teaching of Social Science: Political Science. Paris:UNESCO. Hlm.17-18
[3] Haryanto, Kekuasaan elit, Suatu bahasan pengantar, Program Pasca sarjana PLOD, UGM bekerjasama dengan jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, Tahun 2005, hal 66
[4] Modul teori politik, program studi politik lokal dan otonomi daerah, 2005
[5] Ibid